DEWI AFRIANY SUSANTI
Blog ini tempat untuk berbagi Ilmu dan Pengetahuan kepada masyarakat luas terkhusus bagi mahasiswa Universitas Quality
Senin, 20 Mei 2024
Jumat, 02 November 2018
Jumat, 22 September 2017
Kamis, 21 September 2017
Rabu, 20 September 2017
BAHAN MATERI KONSEP DASAR PKN
BAB I
Pendidikan Kewarganegaraan (PKn)
A. Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan (PKn)
Pengertian
PKn (n) tidak sama dengan PKN (N). PKN (N) adalah Pendidikan Kewargaan Negara,
sedangkan PKn (n) adalah Pendidikan Kewarganegaraan. Istilah KN merupakan
terjemahan civics. Menurut Soemantri (1967) merupakan mata pelajaran sosial
yang bertujuan untuk membentuk atau membina warga negara yang baik, yaitu
warganegara yang tahu, mau dan mampu berbuat baik. Warga negara yang baik
adalah warga negara yang mengetahui dan menyadari serta melaksanakan hak dan
kewajibannya sebagai warga negara (Winata Putra 1978), itulah maksud dari PKN
(N). PKn (n) adalah Pendidikan Kewarganegaraan yaitu yang menyangkut status
formal warga negara yang pada awalnya diatur dalam undang-undang no.2 th 1949
isinya mengatur tentang diri kewarganegaraan peraturan tentang naturalisasi
atau pemerolehan status sebagai warga negara Indonesia (Winata Putra 1995). Undang-undang
ini telah diperbarui dalam UU no.62 th 1958. dalam perkembanganya karena UU ini
dianggapa cukup diskriminatif maka diperbarui lagi yang sekarang diatur dalam
UU no.12 th 2006 tentang kewarganegaraan, yang telah diberlakukan mulai 1
Agustus 2006 UU ini sebelumnya telah disahkan oleh DPR dalam sidang paripurna
tanggal 11 Juli 2006.
Ada hal yang menarik dalam UU ini karena didalamnya
telah memberi perlindungan pada kaum perempuan yang merubah menikah dengan
warga negara asing dan nasib anak-anaknya (Harpen dan Jehani 2006). Perubahan
ini dibangun setelah menimbang UUD hasil amandemen yang sarat dengan kebebasan
serta penuh dengan perlindungan HAM serta hasil konvensi internasional yang
anti diskriminasi.
Dengan demikian sudah jelas bahwa KN berbeda dengan Kn
karena KN merupakan program pendidikan tentang hak dan kewajiban warga negara
yang baik. Sedangkan Kn merupakan status formal warga negara yang diatur dalam
UU no.2 th 1949 tentang naturalisasi dan yang terakhir sekarang diperbarui lagi
dalam UU no.12 th 2006.
B. Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn)
Tujuan PKn adalah untuk membentuk watak atau
karakteristik warga negara yang baik. Sedangkan tujuan mata pelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan, menurut Mulyasa (2007) adalah untuk menjadikan siswa
1) mampu berpikir secara
kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi persoalan hidup maupun isu
kewarganegaraan di negaranya.
2) mau berpartisipasi dalam
segala bidang kegiatan, secara aktif dan bertanggung jawab, sehingga bisa
bertindak secara cerdas dalam semua kegiatan, dan
3) bisa berkembang secara
positif dan demokratis, sehingga mampu hidup bersama dengan bangsa lain di
dunia dan mampu berinteraksi, serta mampu memanfaatkan teknologi informasi dan
komunikasi dengan baik.
Hal ini akan mudah tercapai jika pendidikan nilai
moral dan norma tetap ditanamkan pada siswa sejak usia dini karena jika siswa
sudah memiliki nilai moral yang baik maka tujuan untuk mencapai warga negara
yang baik akan mudah terwujudkan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa
tujuan PKn di SD adalah untuk menjadikan warganegara yang baik, yaitu
warganegara yang tahu, mau, dan sadar akan hak dan kewajibannya. Dengan
demikian, diharapkan kelak dapat menjadi bangsa yang terampil dan cerdas, dan
bersikap baik sehingga mampu mengikuti kemajuan teknologi modern.
C. Ruang Lingkup Pendidikan Kewarganegaraan (PKn)
Berdasarkan tujuan tersebut di atas, ruang lingkup PKn
secara umum meliputi aspek-aspek sebagai berikut: (1) Persatuan dan Kesatuan, (2) Norma Hukum
dan Peraturan, (3) HAM, (4) Kebutuhan warga Negara, (5) Konstitusi Negara, (6)
Kekuasaan Politik, (7) Kedudukan Pancasila, dan (8) Globalisasi.
PKn SD terdiri dari 24 standar kompetensi yang dijabarkan
dalam 53 kompetensi dasar. Menurut Mulyasa (2007), delapan kelompok tersebut
dijelaskan pada bagian berikut.
1) Persatuan dan Kesatuan bangsa, meliputi hidup rukun dalam
perbedaan, cinta lingkungan, kebanggaan sebagai bangsa Indonesia, sumpah
pemuda, keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, partisipasi dalam
pembelaan negara, sikap positif terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia,
keterbukaan dan jaminan keadilan.
2) Norma, Hukum, dan Peraturan, meliputi tertib dalam kehidupan
keluarga, tata tertib di sekolah, norma yang berlaku di masyarakat,
peraturan-peraturan daerah, norma-norma dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara, sistim hukum dan peradilan nasional, dan hukum dan peradilan
internasional.
3) Hak Asasi Manusia, meliputi hak dan kewajiban anak, hak dan
kewajiban anggota masyarakat, instrumen nasional dan internasional HAM,
pemajuan, penghormatan dan perlindungan HAM.
4) Kebutuhan Warganegara, meliputi hidup gotong royong, harga diri
sebagai warga masyarakat, kebebasan berorganisasi, kemerdekaan rnengeluarkan
pendapat, menghargai keputusan bersama, prestasi diri, persamaan kedudukan
warga negara.
5) Konstitusi Negara, meliputi proklamasi kemerdekaaƱ dan konstitusi
yang pertama, konstitusi-konstitusi yang pernah digunakan di Indonesia,
Hubungan dasar negara dengan konstitusi.
6) Kekuasan dan Politik, meliputi pemerintahan desa dan kecamatan,
pemerintahan daerah dan otonomi-pemerintah pusat, demokrasi dan sistem politik,
budaya politik, budaya demokrasi menuju masyarakat madani, sistem pemerintahan,
pers dalam masyarakat demokrasi.
7) Kedudukan Pancasila, meliputi kedudukan pancasila sebagai dasar
negara dan ideologi negara, proses perumusan pancasila sebagai dasar negara,
pengamalan nilai-nilai pancasila dalam kehidupan sehari-hari, pancasila sebagai
ideologi terbuka.
8) Globalisasi, meliputi globalisasi di lingkungannya, politik luar
negeri Indonesia di era globalisasi, dampak globalisasi, hubungan internasional
dan organisasi internasional, dan mengevaluasi globalisasi.
BAB II
NILAI, NORMA DAN MORAL PANCASILA
A.
Pengertian
Nilai
Dalam berbahasa sehari-hari sering kali kita
mendengar atau membaca kata penilaian, yang kata-asalnya adalah nilai. Nilai
yang dalam bahasa Inggrisnya adalah value biasa diartikan sebagai harga,
penghargaan, atau taksiran. Maksudnya adalah harga yang melekat pada sesuatu
atau penghargaan terhadap sesuatu. Bambang Daroeso (1986:20) mengemukakan bahwa
nilai adalah suatu kualitas atau penghargaan terhadap sesuatu, yang dapat
menjadi dasar penentu tingkah laku seseorang. Darji Darmodiharjo (1995: 1)
mengatakan bahwa nilai adalah kualitas atau keadaan sesuatu yang bermanfat bagi
manusia, baik lahir maupun batin. Sementara itu Widjaja (1985: 155)
mengemukakan bahwa menilai berati menimbang, yaitu kegiatan
menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain (sebagai standar), untuk
selanjutnya mengambil keputusan. Keputusan itu dapat menyatakan : berguna atau
tidak berguna, benar atau tidak benar, indah atau tidak indah, baik atau tidak
baik dan seterusnya.
Menurut Fraenkel, nilai pada dasarnya disebut
sebagai standar penuntun dalam menentukan sesuatu itu baik, indah, berharga
atau tidak. Frondizi (1963: 1-2) mengemukakan bahwa aksiologi adalah cabang
filsafat yang berusaha menjawab pertanyaan, apakah sesuatu itu dikatakan bernilai
karena memang benar-benar bernilai, atau apakah sesuatu itu karena dinilai maka
menjadi bernilai ? Diantara para ahli terdapat perbedaan pendapat tentang sifat
nilai dari sesuatu, yaitu pendapat yang mengatakan bahwa nilai itu bersifat
subyektif dan nilai itu bersifat obyektif. Pengertian nilai itu bersifat
subyektif artinya bahwa nilai dari suatu obyek itu tergantung pada subyek yang
menilainya.
Sebagai ilustrasi, pohon-pohon kelapa yang batangnya
bengkok di suatu pantai sangat mungkin memiliki nilai bagi seorang seniman,
tapi tidak bernilai bagi seorang pedagang kayu bangunan. Sebuah bangunan tua
warisan zaman Belanda yang sudah keropos sangat mungkin memiliki nilai bagi
sejarawan, tapi tidak demikian halnya bagi orang lain. Pandangan bahwa nilai
itu subyektif sifatnya antara lain dianut oleh Bertens (1993: 140-141), yang
mengatakan bahwa nilai berperanan dalam suasana apresiasi atau penilaian dan
akibatnya suatu obyek akan dinilai secara berbeda oleh berbagai orang. Untuk
memahami tentang nilai, ia membandingkannya dengan fakta. Ia mengilustrasikan
dengan obyek peristiwa letusan sebuah gunung pada suatu saat tertentu. Hal itu
dapat dipandang sebagai suatu fakta, yang oleh para ahli dapat digambarkan
secara obyektif. Misalnya para ahli dapat mengukur tingginya awan panas yang
keluar dari kawah, kekuatan gempa yang menyertai letusan itu, jangka waktu
antara setiap letusan dan sebagainya. Selanjutnya bersamaan dengan itu, obyek
peristiwa tersebut dapat dipandang sebagai nilai. Bagi wartawan foto, peristiwa
letusan gunung tersebut merupakan kesempatan emas untuk mengabadikan kejadian
yang langka dan tidak mudah disaksikan oleh setiap orang. Sementara itu bagi
petani di sekitarnya, letusan gunung yang debu panasnya menerjang tanaman
petani yang hasilnya hampir dipanen, peristiwa itu dipandang sebagai musibah
(catatan : ilustrasi yang dicontohkan oleh Bertens tersebut sesungguhnya masih
dapat dikritisi, sebab di situ tidak dibedakan antara peristiwa letusan gunung
itu sendiri dengan akibat dari letusan gunung).
Sementara itu menurut para filsuf pada zamanYunani
Kuno, seperti Plato dan Aristoles, nilai itu bersifat obyektif. Artinya, nilai
suatu obyek itu melekat pada obyeknya dan tidak tergantung pada subyek yang
menilainya. MenurutPlato, dunia konsep, dunia ide, dan dunia nilai merupakan dunia yang
senyatanya dan tetap. Menurut Brandt, sebagaimana dikutip oleh T. Sulistyono
(1995: 14), sifat kekekalan itu melekat pada nilai. Demikian pula pandangan
tokoh-tokoh aliran Realisme Modern, seperti Spoulding, hakikat nilai lebih
utama dari padapemahaman psikologis. Pemahaman manusia terhadap suatu obyek
hanyalah merupakan bagian dari dunia pengalamannya, yang tidak jarang saling bertentangan
serta tidak konsisten. Berbeda dengan manusia yang sifatnya “tergantung “, maka
subsistensi nilai itu bebas dari pemahaman maupun interes manusia.
B.
Jenis-
Jenis Nilai
Max scheler bahwa nilai-nilai yang ada tidak sama luhurnya dan sama
tingginya. Menurut tinggi dan rendahnya nilai-nilai dapat dikelompokkan menjadi
empat yakni :
1. Nilai-nilai kenikmatan
2. Nilai-nilai kehidupan
3. Nilai-nilai kejiwaan
4. Nilai-nilai kerohanian
Walter
G. everet mengolongkan nilai-nilai manusiawi kedalam delapan kelompok yaitu:
1.
Nilai-nilai ekonomis
2.
Nilai-nilai kejasmanian
3.
Nilai-nilai hiburan
4.
Nilai-nilai social
5.
Nilai-nilai watak
6.
Nilai-nilai estetis
7.
Nilai-nilai intelektual
8.
Nilai-nilai keagamaan
Notonagoro membagi nilai kedalam tiga macam yaitu:
1. Nilai material (yaitu
segala sesuatu yang berguna bagi unsur jasmani manusia).
2.
Nilai vital (yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk
mengadakan
kegiatan atau aktivitas).
3.Nilai kerohanian (yaitu
segala sesuatu yang berguna bagi rohani manusia).
Nilai kerohanian ini dapat dibedakan atas empat macam:
1. nilai kebenaran
2. nilai keindahan atau nilai estetis
3. nilai kebaikan atau nilai moral
4.
nilai religius
Masih banyak lagi cara pengelompokan
nilai, misalnya yang dilakukan ole N. Rescher, yaitu pembagian nilai
berdasarkan pembawa nilai, hakekat keuntungan yang diperoleh, dan hubungan
antara pendukung nilai dan keuntungan yang diperoleh. Begitu pula dengan
pengelompokan nilai menjadi nilai intrinsic dan ekstrinsik: nilai objektif
nilai subyektif,nilai positif dan nilai negative (disvalue), dan sebagainya. Notonagoro
berpendapat bahwa sila-sila pancasila tergolong nilai-nilai kerohanian. Tetapi
nilai kerohanian yang mengakui adanya nilai material dan nilai vital.
C. Pengertian dan Jenis Norma
Norma adalah petunjuk tingkah laku yang
harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan dalam hidup
sehari-hari, berdasarkan suatu alasan (motivasi) tertentu dengan
disertai sanksi. Sanksi adalah ancaman/akibat yang akan diterima apabila norma
tidak dilakukan (Widjaja, 1985: 168).
1.
Jenis- Jenis
Norma
Dalam kehidupan umat manusia terdapat bermacam-macam
norma, yaitu norma agama, norma
kesusilaan, norma kesopanan, norma hukum dan lain-lain. Norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, dan norma hukum digolongkan sebagai norma umum.
Selain itu dikenal juga adanya norma khusus, seperti aturan permainan, tata tertib sekolah, tata tertib
pengunjung tempat bersejarah dan
lain-lain.
1.1 Norma Agama
Norma agama adalah aturan-aturan hidup yang berupa
perintah-perintah dan larangan-larangan, yang oleh pemeluknya diyakini
bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa. Aturan-aturan itu tidak saja mengatur
hubungan vertikal, antara manusia dengan Tuhan (ibadah), tapi juga hubungan
horisontal, antara manusia dengan sesama manusia. Pada umumnya setiap pemeluk
agama menyakini bawa barang siapa yang mematuhi perintah-perintah Tuhan dan menjauhi
larangan-larangan Tuhan akan memperoleh pahala. Sebaliknya barang siapa yang
melanggarnya akan berdosa dan sebagai sanksinya, ia akan memperoleh siksa.
Sikap dan perbuatan yang menunjukkan kepatuhan untuk menjalankan perintah-Nya
dan menjauhi larangan-Nya tersebut disebut taqwa.
1.2 Norma Kesusilaan
Norma kesusilaan adalah aturan-aturan hidup tentang
tingkah laku yang baik dan buruk, yang berupa “bisikan-bisikan” atau suara
batin yang berasal dari hati nurani manusia. Berdasar kodrat kemanusiaannya,
hati nurani setiap manusia “menyimpan” potensi nilai-nilai kesusilaan. Hal ini
analog dengan hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh setiap pribadi manusia
karena kodrat kemanusiaannya, sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa. Karena
potensi nilai-nilai kesusilaan itu tersimpan pada hati nurani setiap manusia
(yang berbudi), maka hati nurani manusia dapat disebut sebagai sumber norma kesusilaan.
Ini sejalan dengan pendapat Widjaja tentang moral dihubungkan dengan etika,
yang membicarakan tata susila dan tata sopan santun. Tata susila mendorong
untuk berbuat baik, karena hati kecilnya menganggap baik, atau bersumber dari
hati nuraninya, lepas dari hubungan dan pengaruh orang lain (Widjaja, 1985:
154).Tidak jarang ketentuan-ketentuan norma agama juga menjadi
ketentuan-ketentuan norma kesusilaan, sebab pada hakikatnya nilainilai keagamaan
dan kesusilaan itu berasal dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Demikian pula karena
sifatnya yang melekat pada diri setiap manusia, maka nilai-nilai kesusilaan itu
bersifat universal. Dengan kata lain, nilai-nilai kesusilaan yang universal
tersebut bebas dari dimensi ruang dan waktu, yang berarti berlaku di manapun
dan kapanpun juga. Sebagai contoh, tindak pemerkosaan dipandang sebagai
tindakan yang melanggar kesusilaan, di belahan dunia manapun dan pada masa
kapanpun juga. Kepatuhan terhadap norma kesusilaan akan menimbulkan rasa
bahagia, sebab yang bersangkutan merasa tidak mengingkari hati nuraninya.
Sebaliknya, pelanggaran terhadap norma kesusilaan pada hakikatnya merupakan
pengingkaran terhadap hati nuraninya sendiri, sehingga sebagaimana dikemukakan
dalam sebuah mutiara hikmah, pengingkaran terhadap hati nurani itu akan
menimbulkan penyesalan atau bahkan penderitaan batin. Inilah bentuk sanksi
terhadap pelanggaran norma kesusilaan.
1.3 Norma Kesopanan
Norma kesopanan adalah aturan hidup bermasyarakat
tentang tingkah laku yang baik dan tidak baik baik, patut dan tidak patut
dilakukan, yang berlaku dalam suatu lingkungan masyarakat atau komunitas
tertentu. Norma ini biasanya bersumber dari adat istiadat, budaya, atau
nilai-nilai masyarakat. Ini sejalan dengan pendapat Widjaja tentang moral
dihubungkan dengan etika, yang membicarakan tentang tata susila dan tata sopan
santun. Tata sopan santun mendorong berbuat baik, sekedar lahiriah saja, tidak
bersumber dari hati nurani, tapi sekedar menghargai menghargai orang lain dalam
pergaulan (Widjaja, 1985: 154). Dengan demikian norma kesopanan itu bersifat
kultural, kontekstual, nasional atau bahkan lokal. Berbeda dengan norma
kesusilaan, norma kesopanan itu tidak bersifat universal. Suatu perbuatan yang
dianggap sopan oleh sekelompok masyarakat mungkin saja dianggap tidak sopan
bagi sekelompok masyarakat yang lain. Sejalan dengan sifat masyarakat yang dinamis
dan berubah, maka norma kesopanan dalam suatu komunitas tertentu juga dapat
berubah dari masa ke masa. Suatu perbuatan yang pada masa dahulu dianggap tidak
sopan oleh suatu komunitas tertentu mungkin saja kemudian dianggap sebagai
perbuatan biasa yang tidak melanggar kesopanan oleh komunitas yang sama. Dengan
demikian secara singkat dapat dikatakan bahwa norma kesopanan itu tergantung
pada dimensi ruang dan waktu. Sanksi terhadap pelanggaran norma kesopanan
adalah berupa celaan, cemoohan, atau diasingkan oleh masyarakat. Akan tetapi
sesuai dengan sifatnya yang “tergantung” (relatif), maka tidak jarang norma
kesopanan ditafsirkan secara subyektif, sehingga menimbulkan perbedaan persepsi
tentang sopan atau tidak sopannya perbuatan tertentu. Sebagai contoh, beberapa
tahun yang lalu ketika seorang pejabat di Jawa Timur sedang didengar
kesaksiannya di pengadilan dan ketika seorang terdakwa di ibu kota sedang
diadili telah ditegur oleh hakim ketua, karena keduanya dianggap tidak sopan
dengan sikap duduknya yang “jegang” (menyilangkan kaki). Kasus ini menimbulkan
tanggapan pro dan kontra dari berbagai kalangan dan menjadi diskusi yang hangat
tentang ukuran kesopanan yang digunakan. Demikian pula halnya ketika advokat kenamaan
di ibu kota berkecak pinggang di depan majelis hakim, yang oleh majelis hakim
perbuatan itu bukan hanya dinilai tidak sopan, tapi lebih dari itu dinilai
sebagai contempt of court (penghinaan terhadap pengadilan), sehingga tentu
saja mempunyai implikasi hukum.
1.4 Norma Hukum
Norma hukum adalah aturan-aturan yang dibuat oleh lembaga
negara yang berwenang, yang mengikat dan bersifat memaksa, demi terwujudnya ketertiban
masyarakat. Sifat “memaksa” dengan sanksinya yang tegas dan nyata inilah yang
merupakan kelebihan norma hukum dibanding dengan ketiga norma yang lain. Negara
berkuasa untuk memaksakan aturan-aturan hukum guna dipatuhi dan terhadap
orang-orang yang bertindak melawan hukum diancam hukuman. Ancaman hukuman itu
dapat berupa hukuman bandan atau hukuman benda. Hukuman bandan dapat berupa
hukuman mati, hukuman penjara seumur hidup, atau hukuman penjara sementara. Di
samping itu masih dimungkinkan pula dijatuhkannya hukuman tambahan, yakni pencabutan
hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan pengumuman keputusan
pengadilan. Demi tegaknya hukum, negara memiliki aparat-aparat penegak hukum,
seperti polisi, jaksa, dan hakim. Sanksi yang tegas dan nyata, dengan berbagai
bentuk hukuman seperti yang telah dikemukakan itu, tidak dimiliki oleh ketiga
norma yang lain. Sumber hukum dalam arti materiil dapat berasal dari falsafah,
pandangan hidup, ajaran agama, nilai-nilai kesusilaam,adat istiadat, budaya,
sejarah dan lain-lain. Dengan demikian dapat saja suatu ketentuan norma hukum
juga menjadi ketentuan norma-norma yang lain. Sebagai contoh, perbuatan mencuri
adalah perbuatan melawan hukum (tindak pidana, dalam hal ini : kejahatan), yang
juga merupakan perbuatan yang bertentangan dengan norma agama, kesusilaan
(asusila), maupun kesopanan (a sosial). Jadi, diantara norma-norma tersebut mungkin
saja terdapat kesamaan obyek materinya, akan tetapi yang tidak sama adalah
sanksinya. Akan tetapi, sebagai contoh lagi, seorang yang mengendari kendaraan
bermotor tanpa memiliki SIM, meskipun tidak melanggar norma agama, akan tetapi
melanggar norma hukum.
D. Pengertian
Moral
Secara etimologis, kata moral berasal dari
kata mos dalam bahasa Latin, bentuk jamaknya mores, yang
artinya adalah tata-cara atau adat-istiadat. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (1989: 592), moral diartikan sebagai akhlak, budi pekerti,
atau susila. Secara terminologis, terdapat berbagai rumusan pengertian moral,
yang dari segi substantif materiilnya tidak ada perbedaan, akan
tetapi bentuk formalnya berbeda. Widjaja (1985: 154) menyatakan bahwa
moral adalah ajaran baik dan buruk tentang perbuatan dan kelakuan
(akhlak). Al-Ghazali (1994: 31) mengemukakan pengertian akhlak, sebagai
padanan kata moral, sebagai perangai (watak, tabiat) yang menetap kuat
dalam jiwa manusia dan merupakan sumber timbulnya perbuatan tertentu
dari dirinya secara mudah dan ringan, tanpa perlu dipikirkan dan
direncanakan sebelumnya. Sementara itu Wila Huky, sebagaimana dikutip
oleh Bambang Daroeso (1986: 22) merumuskan pengertian moral secara lebih komprehensip
rumusan formalnya sebagai berikut :
1. Moral sebagai perangkat ide-ide tentang tingkah
laku hidup, dengan warna dasar tertentu yang dipegang oleh sekelompok manusia
di dalam lingkungan tertentu.
2. Moral adalah ajaran tentang laku hidup yang baik
berdasarkan pandangan hidup atau agama tertentu.
3. Moral sebagai tingkah laku hidup manusia, yang
mendasarkan pada kesadaran, bahwa ia terikat oleh keharusan untuk mencapai yang
baik , sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam lingkungannya.
Agar diperoleh pemahaman yang lebih jelas perlu
diberikan ulasan bahwa substansi materiil dari ketiga batasan tersebut tidak
berbeda, yaitu tentang tingkah laku. Akan tetapi bentuk formal ketiga batasan
tersebut berbeda. Batasan pertama dan kedua hampir sama, yaitu seperangkat
ide tentang tingkah laku dan ajaran tentang tingkah laku. Sedangkan
batasan ketiga adalah tingkah laku itu sendiri Pada batasan pertama dan
kedua, moral belum berwujud tingkah laku, tapi masih merupakan acuan dari
tingkah laku. Pada batasan pertama, moral dapat dipahami sebagai nilai-nilai moral.
Pada batasan kedua, moral dapat dipahami sebagai nilai-nilai moral atau norma-norma
moral. Sedangkan pada batasan ketiga, moral dapat dipahami sebagai tingkah
laku, perbuatan, atau sikap moral. Namun demikian semua batasan tersebut tidak
salah, sebab dalam pembicaraan sehari-hari, moral sering dimaksudkan masih sebagai
seperangkat ide, nilai, ajaran, prinsip, atau norma. Akan tetapi lebih kongkrit
dari itu , moral juga sering dimaksudkan sudah berupa tingkah laku, perbuatan,
sikap atau karakter yang didasarkan pada ajaran, nilai, prinsip, atau norma.
Kata moral juga sering disinonimkan dengan etika,
yang berasal dari kata ethos dalam bahasa Yunani Kuno, yang berarti
kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, atau cara berfikir. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (1989: 237) etika diartikan sebagai (1) ilmu tentang
apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak),
(2) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak, dan (3) nilai
mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat. Sementara
itu Bertens (1993: 6) mengartikan etika sejalan dengan arti dalam kamus
tersebut. Pertama, etika diartikan sebagai nilai-nilai dan norma-norma
moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau sekelompok dalam mengatur
tingkah lakunya. Dengan kata lain, etika di sini diartikan sebagai sistem
nilai yang dianut oleh sekelompok masyarakat dan sangat mempengaruhi
tingkah lakunya. Sebagai contoh, Etika Hindu, Etika Protestan, Etika Masyarakat
Badui dan sebagaimya. Kedua, etika diartikan sebagai kumpulan asas atau
nilai moral, atau biasa disebut kode etik. Sebagai contoh Etika
Kedokteran, Kode Etik Jurnalistik, Kode Etik Guru dan sebagainya. Ketiga, etika
diartikan sebagai ilmu tentang tingkah laku yang baik dan buruk. Etika
merupakan ilmu apabila asas-asas atau nilai-nilai etis yang berlaku begitu saja
dalam masyarakat dijadikan bahan refleksi atau kajian secara sistematis dan
metodis.
Sementara itu menurut Magnis Suseno, etika harus
dibedakan dengan ajaran moral. Moral dipandang sebagai ajaran-ajaran,
wejangan-wejangan, khotbah-khotbah, patokan-patokan, entah lisan atau tertulis,
tentang bagaimana ia harus bertindak, tentang bagaimana harus hidup dan
bertindak, agar ia menjadi manusia yang baik. Sumber langsung ajaran moral
adalah orang-orang dalam berbagai kedudukan, seperti orang tua dan guru, para
pemuka masyarakat dan agama, dan tulisan-tulisan para bijak seperti kitab Wulangreh
karangan Sri Sunan Paku Buwana IV. Sumber dasar ajaran-ajaran adalah
tradisi dan adat istiadat, ajaran agama-agama atau ideologiideologi tertentu.
Sedangkan etika bukan suatu sumber tambahan bagi ajaran moral, melainkan
merupakan filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaranajaran dan
pandangan-pandangan moral. Etika adalah sebuah ilmu, bukan sebuah ajaran
(Magnis Suseno, 1987; 14).
Pendapat Magnis bahwa etika merupakan ilmu tidak
berbeda dengan Bertens,sebagaimana terminologinya yang ketiga tersebut, di
samping pada bagian lain juga menyatakan bahwa etika adalah ilmu tentang apa
yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan (Bertens, 1993: 4). Namun
menurut Bertens, pengertian etika selain sebagai ilmu, juga mencakup moral,
baik arti nilai-nilai moral, norma-norma moral, maupun kode etik.
Etika sebagai ilmu biasa dibedakan menjadi tiga
macam, yaitu etika deskriptif, etika normatif, dan meta etika. Etika deskriptif
mempelajari tingkah laku moral dalam arti luas, seperti adat kebiasaan,
pandangan tentang baik dan buruk, perbuatan yang diwajibkan, diperbolehkan,
atau dilarang dalam suatu masyarakat, lingkungan budaya, atau periode sejarah.
Sebagai contoh, pengenalan terhadap adat kawin lari di kalangan
masyarakat Bali, yang disebut mrangkat atau ngrorod (Koetjaraningrat,
1980: 288). Di sini, etika deskriptif tugasnya sebatas menggambarkan atau
memperkenalkan dan sama sekali tidak memberikan penilaian moral. Pada masa
sekarang obyek kajian etika deskpiptif lebih banyak dibicarakan oleh
antropologi budaya, sejarah, atau sosiologi. Karena sifatnya yang empiris, maka
etika deskriptif lebih tepat dimasukkan ke dalam bahasan ilmu pengetahuan dan bukan
filsafat.
Etika normatif bertujuan merumuskan prinsip-prinsip
etis yang dapat dipertangung-jawabkan secara rasional dan dapat diterapkan
dalam perbuatan nyata. Berbeda dengan etika deskriptif, etika normatif tidak bersifat
netral, melainkan memberikan penilaian terhadap tingkah laku moral berdasar
norma-norma tertentu. Etika normatif tidak sekedar mendeskripsikan atau
menggambarkan, melainkan bersifat preskriptif atau memberi petunjuk mengenai
baik atau tidak baik, boleh atau tidak boleh-nya suatu perbuatan. Untuk itu di
dalamnya dikemukakan argumenargumen atau diskusi-diskusi yang mendalam, dan
etika normatif merupakan bagian penting dari etika.
Adapun meta etika tidak membahas persoalan moral
dalam arti baik atau buruk-nya suatu tingkah laku, melainkan membahas bahasa-bahasa
moral. Sebagai contoh, jika suatu perbuatan dianggap baik, maka
pertanyaannya adalah : apakah arti “baik” dalam perbuatan itu, apa
ukuran-ukuran atau syarat-syaratnya untuk disebut baik, dan sebagainya.
Pertanyaan-pertanyaan semacam itu dapat juga dikemukakan secara kritis dan
mendalam tentang makna dan ukuran adil, beradab, manusiawi, persatuan,
kerakyatan, kebijaksanaan, keadilan, kesejahteraan dan sebagainya. Meta etika
seolah-olah bergerak pada taraf yang lebih tinggi dari pada perilaku etis,
dengan begerak pada taraf bahasa etis (meta artinya melebihi atau
melampui).
E.
Hubungan antara Nilai. Norma, dan Moral
Di muka telah dikemukakan terminologi nilai, norma,
dan moral. Ketiganya mempunyai hubungan yang erat, terutama dalam wacana
pendidikan moral, pembentukan sikap-sikap, pembangunan watak bangsa (the
character building) dan sebagainya. Dalam sistem pendidikan nasional
di Indonesia, khususnya pada jenjang pendidikan dasar dan pendidikan menengah,
mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) yang
menggantikan mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) pada umumnya
dipandang sebagai media pendidikan moral. Dalam Kurikulum/Garis-Garis Besar
Program Pengajaran (GBPP) mata pelajaran tersebut dinyatakan bahwa ruang
lingkup PPKn pada prinsipnya mencakup (1) Nilai Moral dan Norma, serta (2)
Ideologi, Politik, Ekonomi, Sosial Budaya, Pertahanan-Keamanan, dan
Perkembangan Iptek.
Struktur ketiga aspek tersebut secara hirarkhis
mulai dari aspek yang paling mendasar adalah Nilai, Norma, dan Moral. Dalam
hirarkhi ini, yang dimaksud moral adalah dalam pengertian sikap/tingkah laku. Kemudian,
bagaimana hubungan antara nilai, norma, dan moral ? Menurut Kaelan, agar suatu
nilai lebih berguna dalam menuntun sikap dan tingkah laku, maka perlu lebih
dikongkritkan serta diformulasikan menjadi lebih obyektif, sehingga memudahkan
manusia untuk menjabarkannya dalam tingkah laku kongkrit. Wujud yang lebih
kongkrit dari nilai adalah merupakan suatu norma (Kaelan, 2000: 179). Dengan
demikian, hubungan antara nilai, norma, dan moral dapat dinyatakan bahwa norma
pada dasarnya merupakan nilai yang dibakukan, dijadikan standar atau ukuran
bagi kualitas suatu tingkah laku.
F. Makna
Pancasila Sebagai Dasar Negara dan Fungsinya Sebagai Pandangan Hidup dan Dasar
Negara Indonesia
Pancasila
sebagai dasar negara Indonesia digunakan untuk mengatur pemerintahan atau
penyelenggaraan pemerintah seperti halnya yang tertulis dalam pembukaan UUD
1945 yaitu “..... maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu
dalam suatu undang-undang dasar negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu
susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar
kepada…..”
Pancasila
sebagai pandangan hidup dan dasar negara Indonesia mempunyai beberapa fungsi
pokok, yaitu:
1. Pancasila
dasar negara sesuai dengan pembukaan UUD 1945 dan yang pada hakikatnya adalah sebagai sumber dari segala
sumber hukum atau sumber tertib hukum.
2. Pancasila
sebagai pengatur hidup kemasyarakatan pada umumnya (merupakan
pengertian Pancasila yang bersifat
sosiologis).
3.
Pancasila sebagai pengatur tingkah laku pribadi dan cara-cara dalam mencari
kebenaran (merupakan pengertian
Pancasila yang bersifat etis dan filosofis).
Pancasila
sebagai ideologi mengandung
nilai-nilai yang berakar pada pandangan hidup bangsa dan falsafat bangsa.
Dengan demikian memenuhi syarat sebagai suatu ideologi terbuka. Sumber semangat
yang menjadikan Pancasila sebagai ideologi terbuka adalah terdapat dalam
penjelasan UUD 1945: “terutama bagi negara baru dan negara muda, lebih baik
hukum dasar yang tertulis itu hanya memuat aturan-aturan pokok, sedangkan
aturan-aturan yang menyelenggarakan aturan pokok itu diserahkan kepada
undang-undang yang lebih mudah caranya membuat, mengubah dan mencabutnya”
1.
Makna Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia adalah bahwa nilai-nilai yang
terkandung dalam ideologi Pancasila itu menjadi cita-cita normatif bagi
penyelenggaraan bernegara. Dengan kata lain, visi atau arah dari
penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia adalah terwujudnya
kehidupan yang ber-Ketuhanan, yang ber-Kemanusiaan, yang ber-Persatuan, yang
ber-Kerakyatan, dan yang ber-Keadilan.
2.
Pancasila sebagai ideologi nasional selain berfungsi sebagai cita-cita normatif
penyelenggaraan bernegara, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila
merupakan nilai yang disepakati bersama, karena itu juga berfungsi sebagai sarana
pemersatu masyarakat yang dapat memparsatukan berbagai golongan masyarakat
di Indonesia.
G. Nilai
–nilai yang terkandung dalam Pancasila
1.
Nilai
Ketuhanan
Nilai
ketuhanan Yang Maha Esa Mengandung arti adanya pengakuan dan keyakinan bangsa
terhadap adanya Tuhan sebagai pancipta alam semesta. Dengan nilai ini
menyatakan bangsa indonesia merupakan bangsa yang religius bukan bangsa yang
ateis. Nilai ketuhanan juga memilik arti adanya pengakuan akan kebebasan untuk
memeluk agama, menghormati kemerdekaan beragama, tidak ada paksaan serta tidak
berlaku diskriminatif antarumat beragama.
2.
Nilai Kemanusiaan
Nilai
kemanusiaan yang adil dan beradab mengandung arti kesadaran sikap dan perilaku
sesuai dengan nilai-nilai moral dalam hidup bersama atas dasar tuntutan hati
nurani dengan memperlakukan sesuatu hal sebagaimana mestinya.
3.
Nilai Persatuan
Nilai
persatuan indonesia mengandung makna usaha ke arah bersatu dalam kebulatan
rakyat untuk membina rasa nasionalisme dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Persatuan Indonesia sekaligus mengakui dan menghargai sepenuhnya
terhadap keanekaragaman yang dimiliki bangsa indonesia..
4.
Nilai Kerakyatan
Nilai
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan mengandung makna suatu pemerintahan dari rakyat,
oleh rakyat, dan untuk rakyat dengan cara musyawarah mufakat melalui
lembaga-lembaga perwakilan.
5. Nilai
Keadilan
Nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia mengandung makna
sebagai dasar sekaligus tujuan yaitu tercapainya masyarakat Indonesia Yang Adil
dan Makmur secara lahiriah atauun batiniah. Nilai-nilai dasar itu sifatnya
abstrak dan normatif. Karena sifatnya abstrak dan normatif, isinya belum dapat
dioperasionalkan. Agar dapat bersifat operasional dan eksplisit, perlu
dijabarkan ke dalam nilai instrumental. Contoh nilai instrumental tersebut
adalah UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya. Sebagai nilai dasar, nilai-nilai tersebut
menjadi sumber nilai. Artinya, dengan bersumber pada kelima nilai dasar diatas
dapat dibuat dan dijabarkan nilai-nilai instrumental penyelenggaraan negara
Indonesia.
BAB III
DEMOKRASI
A.
Pengertian
Demokrasi
Kata demokrasi berasal dari
Athena,Yunani Kuno sekitar abad ke-5SM. Yunani merupakan salah satu negara yang
ilmu pengetahuan dan peradabannya maju pada zamannya. Dari sinilah awal
perkembangan tentang hukum demokrasi modern. Seiring berjalannya waktu hingga
sekitar abad ke-18 terjadilah revolusi-revolusi termasuk perkembangan demokrasi
di berbagai negara. Konsep demokrasi menjadi salah satu indikator perkembangan
sistem politik sebuah negara. Prinsip Trias politica yang diterapkan oleh
negara demokrasi menjadi sangat utama untuk memajukan kemakmuran dan
kesejahteraan masyarakat. Fakta sejarah juga memberi bukti bahwa kekuasaan
eksekutif yang terlalu besar tidak menjamin dalam pembentukan masyarakat yang
adil dan beradab.
Demokrasi juga berasal dari bahasa
Yunani yaitu "Demos" yang berarti rakyat dan kratos yang berarti
kekuasaan. Secara umum demokrasi adalah kekuasaan yang berada ditangan rakyat (pemerintahan
rakyat). Maksud dari pemerintahan rakyat adalah pemegang kekuasaan tertinggi
dipenggang oleh rakyat. Jadi demokrasi adalah sebuah bentuk sistem pemerintahan
dalam rangka mewujudkan kedaulatan rakyat yang dijalankan oleh pemerintah.
Suatu pemerintahan demokratis
berbeda dengan bentuk pemerintahan yang kekuasaannya dipegang satu orang,
seperti monarki, atau sekelompok kecil, seperti oligarki. Apapun itu, perbedaan-perbedaan yang berasal dari
filosofi Yunani ini sekarang
tampak ambigu karena beberapa pemerintahan kontemporer mencampur aduk
elemen-elemen demokrasi, oligarki, dan monarki. Karl Popper mendefinisikan demokrasi sebagai sesuatu yang berbeda dengan kediktatoran atau tirani, sehingga berfokus pada kesempatan bagi rakyat untuk
mengendalikan para pemimpinnya dan menggulingkan mereka tanpa perlu melakukan revolusi.
Ada beberapa jenis
demokrasi, tetapi hanya ada dua bentuk dasar. Keduanya menjelaskan cara seluruh
rakyat menjalankan keinginannya. Bentuk demokrasi yang pertama adalah demokrasi langsung, yaitu semua warga negara berpartisipasi langsung dan
aktif dalam pengambilan keputusan pemerintahan. Di kebanyakan negara demokrasi
modern, seluruh rakyat masih merupakan satu kekuasaan berdaulat namun kekuasaan
politiknya dijalankan secara tidak langsung melalui perwakilan; ini disebut demokrasi perwakilan. Konsep demokrasi perwakilan muncul dari ide-ide dan
institusi yang berkembang pada Abad Pertengahan Eropa, Era Pencerahan,
dan Revolusi Amerika
Serikat danPerancis.
B. Demokrasi menurut para ahli.
Abraham
Lincoln
Demokrasi adalah sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat,
dan untuk rakyat.
Charles
Costello
Demokrasi adalah sistem sosial dan politik pemerintahan diri
dengan kekuasaan-kekuasaan pemerintah yang dibatasi hukum dan kebiasaan untuk
melindungi hak-hak perorangan warga negara.
John
L. Esposito
Demokrasi pada dasarnya adalah kekuasaan dari dan untuk rakyat.
Oleh karenanya, semuanya berhak untuk berpartisipasi, baik terlibat aktif
maupun mengontrol kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Selain itu, tentu
saja lembaga resmi pemerintah terdapat pemisahan yang jelas antara unsur
eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.
Hans
Kelsen
Demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat dan untuk rakyat. Yang
melaksanakan kekuasaan Negara ialah wakil-wakil rakyat yang terpilih. Dimana
rakyat telah yakin, bahwa segala kehendak dan kepentingannya akan diperhatikan
di dalam melaksanakan kekuasaan Negara.
Sidney
Hook
Demokrasi adalah bentuk pemerintahan dimana keputusan-keputusan
pemerintah yang penting secara langsung atau tidak didasarkan pada kesepakatan
mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat dewasa.
C.F.
Strong
Demokrasi adalah Suatu sistem pemerintahan di mana mayoritas
anggota dewan dari masyarakat ikut serta dalam politik atas dasar sistem
perwakilan yang menjamin pemerintah akhirnya mempertanggungjawabkan
tindakan-tindakannya pada mayoritas tersebut.
Hannry
B. Mayo
Kebijaksanaan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh
wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan
yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana
di mana terjadi kebebasan politik.
Merriem
Demokrasi dapat didefinisikan sebagai pemerintahan oleh rakyat;
khususnya, oleh mayoritas; pemerintahan di mana kekuasaan tertinggi tetap pada
rakyat dan dilakukan oleh mereka baik langsung atau tidak langsung melalui
sebuah sistem perwakilan yang biasanya dilakukan dengan cara mengadakan pemilu
bebas yang diadakan secara periodik; rakyat umum khususnya untuk mengangkat
sumber otoritas politik; tiadanya distingsi kelas atau privelese berdasarkan
keturunan atau kesewenang-wenangan.
Samuel
Huntington
Demokrasi ada jika para pembuat keputusan kolektif yang paling
kuat dalam sebuah sistem dipilih melalui suatu pemilihan umum yang adil, jujur
dan berkala dan di dalam sistem itu para calon bebas bersaing untuk memperoleh
suara dan hampir seluruh penduduk dewasa dapat memberikan suara.
1.
dilihat dari cara penyaluran aspirasi
rakyat;
·
Demokrasi Langsung
Demokrasi langsung adalah sistem demokrasi yang memberikan kesempatan
kepada seluruh warga negaranya dalam permusyawaratan saat menentukan arah
kebijakan umum dari negara atau undang-undang. Bisa dikatakan demokrasi
langsung adalah demokrasi yang bersih karena rakyat diberikan hak mutlak untuk
memberikan aspirasinya.
·
Demokrasi Tidak Langsung
Demokrasi tidak langsung adalah sistem demokrasi yang dijalankan
menggunakan sistem perwakilan.
2.
dilihat dari dasar yang dijadikan
prioritas atau titik perhatian;
·
Demokrasi Material
·
Demokrasi Formal
·
Demokrasi Campuran
3.
dilihat dari prinsip ideologi;
·
Demokrasi Rakyat
Demokrasi rakyat (proletar) adalah sistem demokrasi yang tidak mengenal
kelas sosial dalam kehidupan. Tidak ada pengakuan hak milik pribadi tanpa ada
paksaan atau penindasan tetapi untuk mencapai masyarakat yang dicita-citakan
tersebut dilakukan dengan cara kekerasan atau paksa atau dengan kata lain
negara adalah alat untuk mencapai cita-cita kepentingan kolektif.
Demokrasi rakyat merupakan demokrasi yang berdasarkan paham marxisme atau
komunisme.
·
Demokrasi Konstitusional
Demokrasi konstitusional adalah demokrasi yang dilandaskan kebebasan setiap
orang atau manusia sebagai makhluk sosial. Hobbe, Lockdan Rousseaue
mengemukakan pemikirannya tentang negara demokrasi bahwa negara terbentuk
disebabkan oleh benturan kepentingan hidup orang yang hidup bermasyarakat. Ini
mengakibatkan terjadinya penindasan diantara mereka. Oleh sebab itu kumpulan
orang tersebut membentuk komunitas yang dinamakan negara atas dasar kepentingan
bersama. Akan tetapi fakta yang terjadi kemudian adalah munculnya kekuasaan
berlebih atau otoriterianisme.
Hal inilah yang menjadi pemicu pemikiran
baru yakni demokrasi liberal. Setiap individu dapat berpartisipasi melalui
wakil yang dipilih melalui pemilihan sesuai ketentuan. Masyarakat harus
dijaminan dalam hal kebebasan individual(politik, sosial, ekonomi, dan
keagamaan).
4.
dilihat dari kewenangan dan hubungan
antara alat kelengkapan negara;
·
Demokrasi Sistem Parlementer
Indonesia pernah menerapkan demokrasi parlementer yaitu pada tahun
1945-1959. Dalam sistem demokrasi parlementer, Indonesia memiliki kepala negara
dan kepala pemerintahan sendiri. Selama periode ini konstitusi yang digunakan
adalah Konstitusi RIS dan UUDS 1950. BAnyak kelebihan yang dirasakan ketika
Indonesia menerapkan sistem demokrasi parlementer antara lain:
1. Parlemen menjalankan peran yang sangat baik
2. Akuntabilitas pemengang jabatan tinggi
3. Partai plitik diberi kebebasan dan peluang untuk berkembang
4. Hak dasar setiap individu tidak dikurangi
5. Pemilihan umum dilaksanakan benar-benar dengan prinsip demokrasi (Pemilu
1955)
6. Daerah diberikan otonomi dalam mengembangkan daerahnya sesuai dengan
asas desentralisasi
Meskipun banyak sekali kelebihan yang dirasakan, demokrasi parlementer
dianggap gagal karena beberapa alasan yang dikemukakan para ahli sebagai
berikut:
1. Usulan Presiden (Konsepsi Presiden) tentang Pemerintahan yang berasaskan
gotong-royong ( berbau komunisme)
2. Dewan Konstituante yang bertugas menyusun Undang-undang (konstitusi)
mengalami kegagalan dalam merumuskan ideologi nasional.
3. Dominan sekali politik aliran yang memicu konflik
4. Kondisi ekonomi pasca kemerdekaan masih belum kuat.
·
Demokrasi Sistem Presidensial
Konstitusi Indonesia, UUD 1945,
menjelaskan bahwa Indonesia adalah sebuah negara demokrasi. Presiden dalam
menjalankan kepemimpinannya harus memberikan pertanggungjawaban kepada MPR
sebagai wakil rakyat. Oleh karena itu secara hieraki rakyat adalah pemegang
kekuasaan tertinggi melalui sistem perwakilan dengan cara pemilihan umum. Pada
era Presiden Soekarno, Indonesia sempat menganut demokrasi terpimpin tahun
1956. Indonesia juga pernah menggunakan demokrasi semu (demokrasi pancasila)
pada era Presiden Soeherto hingga tahun 1998 ketika Era Soeharto
digulingkan oleh gerakan mahasiswa. Gerakan mahasiswa yang telah memakan banyak
sekali harta dan nyawa dibayar dengan senyum gembira dan rasa syukur ketika
Presiden Soeharto mengumumkan "berhenti sebagai Presiden Indonesua" pada
21 Mei 1998. Setelah era Seoharto berakhir Indonesia kembali menjadi negara
yang benar-benar demokratis mulai saat itu. Pemilu demokratis yang
diselenggarakan tahun 1999 dimenangkan oleh Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan. Pada tahun 2004 untuk pertama kali Bangsa Indonesia menyelenggarakan
pemilihan umum presiden. Ini adalah sejarah baru dalam kehidupan demokrasi
Indonesia.
Demokrasi di Indonesia ditandai dengan
ciri sebagai berikut :
1. Adanya
keterlibatan warga negara (rakyat) dalam pengambilan keputusan politik,
baik langsung maupun tidak langsung (perwakilan).
2. Adanya
pengakuan, penghargaan, dan perlindungan terhadap hak-hak asasi rakyat (warga
negara).
4. Adanya
lembaga peradilan dan kekuasaan kehakiman yang independen sebagai alat
penegakan hukum
6. Adanya
pers (media massa) yang bebas untuk menyampaikan informasi dan mengontrol
perilaku dan kebijakan pemerintah.
7. Adanya
pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat yang duduk di lembaga perwakilan
rakyat.
8. Adanya
pemilihan umum yang bebas, jujur, adil untuk menentukan (memilih) pemimpin
negara dan pemerintahan serta anggota lembaga perwakilan rakyat.
9. Adanya
pengakuan terhadap perbedaan keragamaan (suku, agama, golongan, dan
sebagainya).
E.
Pendidikan
Bela Negara
Generasi penerus melalui
pendidikan kewarganegaraan diharapkanakan mampu mengantisipasi hari depan yang
senantiasa berubah dan selalu terkait dengan konteks dinamika budaya, bangsa,
negara, dan hubungan internasional serta memiliki wawasan kesadaran bernegara
untuk bela negara dan memiliki pola pikir, pola sikap dan perilaku yang cinta
tanah air berdasarkan Pancasila. Semua itu diperlakukan demi tetap utuh dan
tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tujuan utama pendidikan
kewarganegaraan adalah untuk menumbuhkan wawasan dan kesadaran bernegara, sikap
serta perilaku yang cinta tanah air, wawasan nusantara, serta ketahanan
nasional dalam diri warga negara Republik Indonesia. Selain itu bertujuan untuk
meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang berbudi luhur, berkepribadian,
mandiri, maju, tangguh, cerdas, kreatif, terampil, berdisiplin, beretos kerja,
profesional, bertanggung jawab, dan produktif serta sehat jasmani dan rohani.
Hak dan kewajiban warga
negara, terutama kesadaran bela negara akan terwujud dalam sikap dan
perilakunya bila ia dapat merasakan bahwa konsepsi demokrasi dan hak asasi
manusia sungguh–sungguh merupakan sesuatu yang paling sesuai dengan
kehidupannya sehari–hari. Pendidikan Kewarganegaraan yang berhasil akan
membuahkan sikap mental yang cerdas, penuh rasa tanggung jawab dari peserta
didik. Sikap ini disertai dengan perilaku yang :
1. Beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa serta menghayati nilai–nilai falsafah bangsa
2. Berbudi pekerti luhur,
berdisiplin dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
3. Rasional, dinamis, dan
sadar akanhak dan kewajiban sebagai warga negara.
4. Bersifat profesional
yang dijiwai oleh kesadaran bela negara.
5. Aktif memanfaatkan ilmu
pengetahuan teknologi dan seni untuk kepentingan kemanusiaan, bangsa dan
negara.
Melalui Pendidikan
Kewarganegaraan, warga negara Republik Indonesia diharapkan mampu “memahami,
menganalisa, dan menjawab masalah–masalah yang dihadapi oleh masyarakat, bangsa
dan negaranya secara konsisten dan berkesinambungan dengan cita–cita dan tujuan
nasional seperti yang digariskan dalam Pembukaan UUD 1945 “.
Dalam perjuangan non
fisik, harus tetap memegang teguh nilai–nilai ini disemua aspek kehidupan,
khususnya untuk memerangi keterbelakangan, kemiskinan, kesenjangan sosial,
korupsi, kolusi, dan nepotisme; menguasai IPTEK, meningkatkan kualitas sumber
daya manusia agar memiliki daya saing; memelihara serta menjaga persatuan dan
kesatuan bangsa; dan berpikir obyektif rasional serta mandiri.
F. Pengertian
Pendidikan Pendahuluan Bela Negara (PPBN)
Pembelaan
negara atau bela negara adalah tekad, sikap dan tindakan warga negara yang
teratur, menyeluruh, terpadu dan berlanjut yang dilandasi oleh kecintaan pada
tanah air serta kesadaran hidup berbangsa dan bernegara. Wujud dari usaha bela negara adalah
kesiapan dan kerelaan setiap warganegara untuk berkorban demi mempertahankan
kemerdekaan kedaulatan negara, persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia,
keutuhan wilayah Nusantara dan yuridiksi nasional serta nilai-nilai Pancasila
dan UUD 1945.
Maksud dan Tujuan PPBN
} Usaha
pembelaan negara bertumpu pada kesadaran setiap warga negara akan hak dan
kewajibannya.
} Kesadaran
demikian perlu ditumbuhkan melalui proses motivasi untuk mencintai tanah air
dan untuk ikut serta dalam pembelaan negara.
} Proses
motivasi untuk membela negara dan bangsa akan berhasil jika setiap warga
memahami keunggulan dan kelebihan negara dan bangsanya.
} Di
samping itu setiap warga negara hendaknya juga memahami kemungkinan segala
macam ancaman terhadap eksistensi bangsa dan negara Indonesia.
Dalam hal ini ada beberapa dasar pemikiran yang dijadikan
sebagai bahan motivasi setiap warganegara untuk ikut serta membela negara
Indonesia :
} Pengalaman sejarah perjuangan RI
} Kedudukan wilayah geografis Nusantara yang strategis
} Keadaan penduduk (demografis) yang besar
} Kekayaan sumber daya alam
} Perkembangan dan kemajuan IPTEK di bidang
persenjataan
} Kemungkinan timbulnya bencana perang.
Perkembangan Pendidikan Pendahuluan Bela Negara
1) Situasi NKRI Terbagi dalam Periode-periode
a.
Tahun 1945 sejak NKRI diproklamasikan
sampai tahun 1965 disebut periode lama atau Orde Lama
b.
Tahun 1965 sampai tahun 1998 disebut
periode baru atau Orde Baru.
Tahun
1998 sampai sekarang disebut periode Reformasi.
2)
Pada Periode
Lama Bentuk Ancaman yang Dihadapi adalah Ancaman Fisik
Contoh
: adanya PPPR (Pendidikan Pendahuluan Perlawanan Rakyat), OPR (Organisasi
Perlawanan Rakyat), OKD (Organisasi Keamanan Desa), OKS (Organisasi Keamanan
Sekolah). Dilihat dari kepentingannya, tentunya pola pendidikan yang
diselenggarakan akan terarah pada fisik, teknik, taktik dan strategi kemiliteran.
3)
Periode Orde
Baru dan Periode Reformasi
Ancaman
yang dihadapi dalam periode-periode ini berupa tantangan nonfisik dan gejolak
sosial. Untuk mewujudkan bela negara dalam berbagai aspek kehidupan,
pertama-tama perlu dibuat rumusan tujuan bela negara.
G.
Hak
Asasi Manusia
Hak
asasi manusia (HAM) adalah kebenaran
yang mendasar yang dititipkan Tuhan pada diri manusia agar dapat menjalani hidupnya dengan
baik dan terhormat. HAM muncul dilatarbelakangi oleh
adanya hal berikut ini :
1. Piagam Magna Charta Inggris 1215 M
2. Deklarasi
Universal HAM 10 Desember 1948
Ada
beberapa karakteristik dari HAM, yaitu :
1.
QODRAT dimana HAM adalah
anugerah dari Tuhan untuk setiap manusia agar hidupnya tetap terhormat.
2.
HAKIKI dimana HAM melekat pada setiap manusia, tanpa memandang latar belakang
kehidupannya.
3.
UNIVERSAL dimana HAM itu berlaku
umum
4.
TIDAK BOLEH DICABUT dimana Dalam keadaan bagaimanapun, HAM setiap orang tetap
ada.
5.
TIDAK DAPAT DIBAGI dimana HAM
itu tidak dapat diwakili, dialihkan ataupun dipisah-pisah.
HAM
juga memiliki beberapa kandungan nilai di dalamnya, antara lain :
1. KEBEBASAN/ KEMERDEKAAN
Manusia dilahirkan dalam keadaan merdeka, diharapkan
juga merdeka dalam menjalani hidupnya, misalnya merdeka memilih negara, tempat
tinggal, bergerak, berkeluarga, berkumpul, berserikat, mendapatkan pekerjaan, dll.
Demokrasi termasuk bagian dari nilai kebebasan.
2. KEMANUSIAAN/PERDAMAIAN
Manusia dalam menjalani kehidupannya juga mendambakan ketentraman, bebas dari rasa takut, terjamin keamanannya dan senantiasa dalam suasana damai.
Manusia dalam menjalani kehidupannya juga mendambakan ketentraman, bebas dari rasa takut, terjamin keamanannya dan senantiasa dalam suasana damai.
3. KEADILAN/ KESEDERAJATAN/ PERSAMAAN
Diperlakukan secara wajar dan adil, tidak membeda-bedakan dengan alasan apapun, tanpa diskriminasi serta mendapatkan kesempatan yang sama dalam menjalani kehidupannya adalah bagian dari nilai-nilai dasar HAM.
Diperlakukan secara wajar dan adil, tidak membeda-bedakan dengan alasan apapun, tanpa diskriminasi serta mendapatkan kesempatan yang sama dalam menjalani kehidupannya adalah bagian dari nilai-nilai dasar HAM.
HAM
di Indonesia dibatasi oleh Aturan Per-UU-an. Bangsa Indonesia
mempunyai jati diri yang khas Indonesia, karena itu HAM-nya juga bersifat
spesifik. Misalnya soal kebebasan/ kemerdekaan. Kebebasan yang ada di Amerika/ Eropa
tidak sama dengan yang ada di Indonesia. HAM di Indonesia tetap dibatasi oleh
Aturan Perundang-undangan serta dikontrol oleh nilai agama dan budaya. Pertentangan
antara prinsip universalitas dengan nilai relativisme budaya seringkali
sulit dielakkan.
Ada
beberapa prinsip HAM, yaitu :
- HAM adalah konsep etika
- HAM menyatu dalam seluruh aspek kehidupan
- HAM berlaku universal
- HAM tak terpisahkan dengan kewajiban asasi
- HAM menjadi program internasional
- HAM berkembang sangat dinamis
Sedangkan
yang menjadi nilai utama HAM adalah :
1.
KEMERDEKAAN
2.
PERDAMAIAN
3.
KESEDERAJATAN
4.
KEADILAN
Ada
6 prinsip pokok HAM yaitu :
- Tidak bisa dibagi (indivisibility)
- Saling bergantung dan berkaitan (interdependence and interrelation)
- Universal dan tidak dapat dicabut (universality and inalienability)
- Kesetaraan dan non diskriminasi (equality and non-discrimination)
- Partisipasi dan kontribusi (participation and contribution)
- Tanggung jawab Negara dan penegakan Hukum (state responsibility and rule of law)
Subjek
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah Pemegang
Hak (Rights Holder).
Pemegang hak adalah manusia sebagai individu maupun kelompok yang
memiliki hak, yang wajib dihormati, dilindungi dan dipenuhi oleh Negara.
Pemangku kewajiban dalam
pelaksanaan HAM adalah Negara.
Pelanggaran Hak Asasi
Manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk Aparat
Negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan
hukum, mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut Hak Asasi Manusia
seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang ini,
dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian
hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku (Pasal 1
Ayat 6 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia).
Selain itu, bentuk pelanggaran HAM lainnya adalah memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah
kelahiran di dalam kelompok,
atau
memindahkan secara paksa
anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain (Pasal 8 UU No. 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia). Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang
atau melanggar asas-asas ketentuan pokok Hukum Internasional.
Penyiksaan, perkosaan,
perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan
atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang
setara. Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau
perkumpulan yang didasari
persamaan paham politik, Ras, Kebangsaan,Etnis, Budaya, Agama, Jenis kelamin
atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang
menurut Hukum Internasional. Penganiayaan orang secara paksa atau
Kejahatan Apartheid
(Pasal 9 UU No. 26 Tahun
2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia).
Di
Indonesia sudah ada beberapa instrumen HAM nasional yaitu :
1. Undang-Undang Dasar 1945
2. TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM
3. UU No. 3 Tahun 1977 tentang Peradilan Anak
4. UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
5. UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
6. UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan
Pendapat di Muka Umum
7. UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM
8. UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
HAM dalam UUD 1945
mencakup :
1. Pembukaan UUD 1945 pada Alinea I
Bahwa
sesungguhnya kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka
penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan
perikemanusiaan dan perikeadilan.
2. Batang Tubuh UUD 1945 pada Pasal 27, 28, 29, 30, 31
dan 34.
Hak
asasi manusia (HAM) yang tidak dapat
dikurangi adalah sebagai berikut :
-
Hak
Hidup
-
Hak
untuk tidak disiksa
-
Hak
kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani
-
Hak
beragama
-
Hak
untuk tidak diperbudak
-
Hak
untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum
-
Hak
untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut (adalah HAM yang tidak
dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun, Pasal 4 UU No. 39 Tahun
1999).
BAB IV
NORMA KEHIDUPAN KEWARGANEGARAAN
INDONESIA
A.
Kewarganegaraan
Indonesia
Kewarganegaraan
Republik Indonesia menurut Undang-Undang No. 12 Tahun2006 tentang
Kewarganegaraan Republik IndonesiaUndang-Undang No. 12 Tahun 2006 berlaku sejak
diundangkan tanggal1 Agustus 2006. UU ini untuk menggantikan undang-undang
kewarganegaraanyang lama, yakni UU No. 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan
RI. Dasarpertimbangan (konsideran) UU ini adalah, sebagaimana telah diubah
denganUU No. 3 Tahun 1976 tentang Perubahan Pasal 18 UU No. 62 Tahun
1958tentang Kewarganegaran R I sudah tidak sesuai lagi dengan
perkemabanganketatanegaraan RI, sehingga harus dicabut dan diganti dengan yang
baru.Undang-Undang No. 62 tahun 1958 secara filosofis, yuridis dan sosiologis
sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat dan ketatanegaran RI.
Secara filosofis, undang-undang masih mengandung ketentuan-ketentuan yang tidak
sejalan dengan falsafah Pancasila, antara lain, karena masih adanya sifat
diskriminatif, kurang menjamin pemenuhan hak asasimanusia dan persamaan antar
warganegara, serta kurang memberikan perlindungan terhadap perempuan dan anak-anak.
Secara
yuridis, landasan konstitusional pembentukan undang-undang tersebut adalah UUDS
tahun 1950 sudah tidak berlaku lagi sejak diberlakukan Dekrit Presiden tanggal
5 juli 1959 yangmenyatakan kembali ke UUD 1945. Dalam perkembangannya UUD 1945
telahmengalami perubahan yang lebih menjamin perlindungan terhadap hak-hakasasi
manusia dan hak warganegara. Secara sosiologis, Undang-undang ini sudah tak
sesuai lagi dengan perkembangan dan tuntutan masyarakat Indonesia sebagai
bagian dari masyarakat internasional dalam pergaulan global, yang menghendaki
adanya persamaan perlakuan dan kedudukan warganegara dihadapan hukum serta
adanya kesetaraan gender.
Istilah kewarganegaraan menurut ketentuan UU No. 12 Tahun 2006 adalah segala ikhwal yang berhubungan dengan warga negara (pasal 1). Oleh karenakewarganegaraan adalah segala ikhwal yang berhubungan dengan kewarganegaraan, maka kewarganegaraan mencakup hal-hal, antara lain
Istilah kewarganegaraan menurut ketentuan UU No. 12 Tahun 2006 adalah segala ikhwal yang berhubungan dengan warga negara (pasal 1). Oleh karenakewarganegaraan adalah segala ikhwal yang berhubungan dengan kewarganegaraan, maka kewarganegaraan mencakup hal-hal, antara lain
•
penentuan tentang siapa saja yang termasuk warga negara,
•
cara menjadi warga negara atau pewarganegaraan
•
tentang kehilangan kewarganegaraan
•
tentang cara memperoleh kembali kewarganegaraan yang hilang.
Adapun
ketentuan pokok yang diatur dalam UU No. 12 Tahun 2006, adalah sebagai berikut:
•
Tentang siapa yang menjadi warga negara Indonesia
•
Tentang syarat dan tata cara memperoleh kewarganegaraan RI
•
Tantang kehilangan Kewarganegaraan RI
•
Tentang syarat dan tata cara memperoleh kembalai Kewarganegaraan RI
•
Tentang ketentuan pidana.
Secara
umum dalam undang-undang dinyatakan bahwa menjadi WNI adalah orang-orang bangsa
Indonesia asli dan orang-orang lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai
warganegara (pasal 2). Yang dimaksud dengan orang-orang bangsa Indonesia asli,
adalah orang Indonesia yang menjadi warganegara Negara Indonesia sejak
kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendaknya
sendiri. Rumusan tentang bangsa Indonesia asli sebagaimana di atas merupakan
pengertian yuridis. Dengan demikian istilah bangsa Indonesia asli bukan
diartikan dalam pengertian sosiologis antropologis. Sedang warganegara
Indonesia yang merupakan orang-orang bangsa lain adalah mereka yang
memperolehkewarganegaraan Indonesia melalui pewarganegaraan berdasarkan
peraturanperundangan yang berlaku.
Sedangkan
isi dari UU No. 12 Tahun 2006, adalah sebagai berikut:
•
Tentang siapa warga negara Indonesia, dinyatakan bahwa yang menjadi warga
negara Indonesia termaktub didalam pasal 4.
•
Tentang cara memperoleh Kewarganegaraan RI, menurut undang-undang ini dapat
dilakukan dengan:
1.
permohonan (pasal 8-9)
2.
pernyataan (pasal 19)
3.
pemberian kewarganegaraan (pasal 20)
4.
Melaui pernyaratan untuk memilih kewarganegaan.
Asas-asas
yang digunakan dalam UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Indonesia,
adalah sebagai berikut:
1. asas
ius sanguinis (law of the blood).
2. asas
ius soli (law of the soil)
Asas
kewarganegaraan tunggal, yaitu asas yang mentukan satu kewarganegaraan bagi
setiap orang, sementara asas kewarganegaraan ganda terbatas, yaitu asas yang
menetukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur
dalam undang-undang ini.
Selain
itu masih ada, beberapa asas kewarganegaraan yang bersifat khusus, yang juga
menjadi dasar penyusunan undang-undang Kewarganegaraan Indonesia, yaitu:
• Asas kepentingan nasional, adalah asas yang menentukan bahwa peraturan kewarganegaraan mengutamakan kepentingan nasional Indonesia, yang bertekad mempertahankan kedaulatan sebagai negara kesatuan yang memiliki cita-cita dan tujuannya sendiri.
• Asas kepentingan nasional, adalah asas yang menentukan bahwa peraturan kewarganegaraan mengutamakan kepentingan nasional Indonesia, yang bertekad mempertahankan kedaulatan sebagai negara kesatuan yang memiliki cita-cita dan tujuannya sendiri.
• Asas
perlindungan maksimum, adalah asas yang menentukan bahwaPemerintahwajib
memberikan perlindungan penuh kepada setiap WNI dalam kedaan apapun, baik di
dalam maupun diluar negeri.
• Asas
persamaan di dalam hukum dan pemerintahan, adalah asas yangmenentukan bahwa
setiap WNI mendapatkan perlakuan yang sama didalam hukum dan pemerintahan.
• Asas
kebebasan substantif, adalah prosedur pewarganegaraan seseorang tidak hanya
bersifat administratif, tetapi juga disertai subsatnsidan syarat-syarat
permohonan yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
• Asas
nondiskriminstif,adalah asas yang tidak membedakan perlakuan-perlakuan dalam
segala hal ikwal yang berhubungan dengan wargawarganegara atas dasar suku,
agama, ras, golongan, jenis kelamindan gender.
• Asas
pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia, adalah asas yang dalam
segala ikhwal yang berhubungan dengan warga negara harus menjamin, melindungi,
dan memuliakan hak asasimanusia pada umumnya dan warganegara pada khususnya.
• Asas
keterbukaan, adalah asas yang menentukan bahwa dalam segalahal ikhwal yang
berhubungan dengan warga negara harus dilakukansecara terbuka.
• Asas
publisitas, adalah asas yang menentukan bahwa seseorangyang memperoleh atau
kehilangan Kewarganegaraan RI diumumkan dalam Berita Negara RI agar masyarakat
mengetahuinya.
B.
Hak
dan Kewajiban Warga Negara
1. Hak Warga Negara Indonesia :
-
Hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak : “Tiap warga negara berhak atas pekerjaan
dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” (pasal 27 ayat 2).
-
Hak untuk hidup dan mempertahankan kehidupan: “setiap orang berhak untuk hidup
serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.”(pasal 28A).
-
Hak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang
sah (pasal 28B ayat 1).
-
Hak atas kelangsungan hidup. “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup,
tumbuh, dan Berkembang”
-
Hak untuk mengembangkan diri dan melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya dan
berhak mendapat pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya
demi meningkatkan kualitas hidupnya demi kesejahteraan hidup manusia. (pasal
28C ayat 1)
-
Hak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk
membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya. (pasal 28C ayat 2).
-
Hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan
yang sama di depan hukum.(pasal 28D ayat 1).
-
Hak untuk mempunyai hak milik pribadi Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa,
hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani,hak beragama, hak untuk tidak
diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk
tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia
yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. (pasal 28I ayat 1).
2. Kewajiban Warga Negara
Indonesia :
-
Wajib menaati hukum dan pemerintahan. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 berbunyi : segala
warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
-
Wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara. Pasal 27 ayat (3) UUD 1945 menyatakan
: setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan
negara”.
-
Wajib menghormati hak asasi manusia orang lain. Pasal 28J ayat 1 mengatakan : Setiap
orang wajib menghormati hak asai manusia orang lain
-
Wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang. Pasal 28J
ayat 2 menyatakan : “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya,setiap orang wajib
tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud untuk
menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk
memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai
agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”
-
Wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara. Pasal 30 ayat (1)
UUD 1945. menyatakan: “tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam
usaha pertahanan dan keamanan negara.”
C. Pluralisme
Masyarakat Indonesia
Pluralisme
menurut katanya berasal dari bahasa Inggris, pluralisme apabila menunjuk dari
Wikipedia bahasa Inggris, maka definisi (eng) pluralism adalah: “in the social science, pluralism is a
framework of in teraction which groups show sufficient respect and tolerance of
each other, that they fruitfully coexist and interact without conflict or as
simulation”. Atau dalam bahasa Indonesia: “Sesuatu kerangka interaksi yang
mana setiap kelompok menampilkan rasa hormat dan toleran satu sama lain,
berinteraksi tanpa konflik atau asimilasi (pembaharuan atau pembiasaan).
Saat ini
pluralisme menjadi polemik di Indonesia karena perbedaan mendasar antara
pluralisme dengan pengertian awalnya yaitu pluralis sehingga memilki arti:
Pluralisme diliputi semangat religious, bukan hanya soal kultural, yang
digunakan sebagai alasan pencampuran anatara ajaran agama, sebagai merubah
ajaran suatu agama agar sesuai ajaran agama lain. Jika melihat kepada ide dan
konteks konotasi yang berkembang, jelas bahwa pluralisme di Indonesia tidaklah
sama dengan pluralisme sebagai pengertian dalam bahasa Inggris. Dan tidaklah
aneh jika kondisi ini memancing timbulnya reaksi dari berbagai pihak.
Pertentangan yang menjadi semakin membingungkan karena munculnya kerancuan
bahasa. Sebagaimana seorang mengucapkan pluralisme dalam kata non asimilasi
akan bingung jika bertemu dengan kata pluralisme dalam ani asimilasi, sudah
semestinya munculnya pluralisme pendapat agar tidak timbulnya kerancuan.
Pluralisme
agama sebagai objek persoalan yang ditanggapi dalam arti suatu paham yang
mengajar bahwa semua agama adalah sama dan karenannya kebenaran setiap agama
adalah relative, oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim
bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain adalah salah.
Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk daan
berdampingan di surga. Bagi mereka yang mendefinisikan pluralism-non asimilasi,
hal ini disalah paham sebagai pelarangan terhadap pemahaman mereka dianggap
sebagai suatu kemunduran kehidupan berbangsa keseragaman memang bukan suatu
pilihan yang baik bagi masyarakat yang terdiri atas berbagai suku, bermacam
ras, agama dan sebagainya. Sementara di sisi lain bagi penganut
definisi pluralisme asimilasi, pelarangan ini berarti pukulan bagi ide yang
mereka kembangkan. Ide mereka untuk mencampurkan ajaran yang berbeda menjadi
tertahan perkembangannya.
Pluralisme
adalah sebuah kerangkan dimana ada interkasi beberapa kelompok-kelompok yang
menunjukkkan rasa saling menghormati dan toleransi satu sama lain. Mereka hidup
bersama (koeksistesnsi) serta membuahkan hasil tanpa konflik asimilasi. Pluralisme dapat dikatakan salah satu ciri khas masyarakat modern dan
kelompok social yang penting, dan mungkin merupakan pengemudi utama kemajuan
dalam ilmu pengetahuan, masyarakat dan perkembangan ekonomi. Dalam sebuah masyarakat otoriter atau oligarkis, ada konsentrasi
kekuasaan politik dan keputusan dibuat oleh hanya sedikit anggota. Sebaliknya,
dalam masyarakat pluralistis, kekuasaan dan penentuan keputusan (dan kemilikan
kekuasaan) lebih tersebar.
Dipercayai
bahwa hal ini menghasilkan partisipasi yang lebih luas dan komitmen dari
anggota masyarakat, dan oleh karena itu hasil yang lebih baik. Contoh
kelompok-kelompok dan situasi-situasi di mana pluralisme adalah penting ialah:
perusahaan, badan-badan politik dan ekonomi, perhimpunan ilmiah. Bisa diargumentasikan bahwa sifat pluralisme proses ilmiah adalah factor
utama dalam pertumbuhan pesat ilmu pengetahuan. Pada gilirannya, pertumbuhan
pengetahuan dapat dikatakan menyebabkan kesejahteraan manusiawi bertambah
karena, misalnya lebih besar kinerja dan pertumbuhan ekonomi dan lebih baiklah
teknologi kedokteran. Pluralisme juga menunjukkan hak-hak individu dalam memutuskan kebenaran
universal masing-masing.
D.
Persatuan dan Kesatuan Indonesia
Persatuan dan
kesatuan berasal dari kata satu yang berarti utuh atau tidak terpecah-belah.
Persatuan dan kesatuan mengandung arti “bersatunya macam-macam corak yang
beraneka ragam menjadi satu kebulatan yang utuh dan serasi.” Di Indonesia
persatuan dan kesatuan mengandung dua pengertian, yaitu pengertian dari segi
geografis dan dari segi bangsa. Dari
segi geografis, Indonesia berarti bagian bumi yang membentang dari
95° sampai 141° Bujur Timur dan 6° Lintang Utara sampai 11o Lintang Selatan
atau wilayah yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Indonesia dalam arti luas adalah
seluruh rakyat yang merasa senasib dan sepenanggungan yang bermukim di dalam
wilayah itu. Persatuan dan kesatuan
Bangsa Indonesia berarti persatuan bangsa yang mendiami wilayah
Indonesia. Persatuan itu didorong untuk mencapai kehidupan yang bebas dalam
wadah negara yang merdeka dan berdaulat.
1.
Makna dan
Pentingnya Persatuan Dan Kesatuan Bangsa
Kesatuan bangsa Indonesia yang kita rasakan saat ini terjadi dalam proses yang
dinamis dan berlangsung lama, karena persatuan dan kesatuan bangsa terbentuk
dari proses yang tumbuh dari unsur-unsur sosial budaya masyarakat Indonesia
sendiri, yang ditempa dalam jangkauan waktu yang lama sekali. Unsur-unsur
sosial budaya itu antara lain seperti sifat kekeluargaan dan jiwa
gotong-royong. Kedua unsur itu merupakan sifat-sifat pokok bangsa Indonesia
yang dituntun oleh asas kemanusiaan dan kebudayaan. Karena masuknya kebudayaan
dari luar, maka terjadi proses akulturasi (percampuran kebudayaan). Kebudayaan dari
luar itu adalah kebudayaan Hindu, Islam, Kristen dan unsur-unsur kebudayaan
lain yang beraneka ragam. Semua unsur-unsur kebudayaan dari luar yang masuk
diseleksi oleh bangsa Indonesia. Kemudian sifat-sifat lain terlihat dalam
setiap pengambilan keputusan yang menyangkut kehidupan bersama yang senantiasa
dilakukan dengan jalan musyawarah dan mufakat. Hal itulah yang mendorong
terwujudnya persatuan bangsa Indonesia. Jadi makna dan pentingnya persatuan dan
kesatuan bangsa dapat mewujudkan sifat kekeluargaan, jiwa gotong-royong,
musyawarah dan lain sebagainya.
Tahap-tahap pembinaan persatuan
bangsa Indonesia itu yang paling menonjol ialah sebagai berikut:
a.
Perasaan senasib.
b.
Kebangkitan Nasional
c.
Sumpah Pemuda
d.
Proklamasi Kemerdekaan
2.
Prinsip-Prinsip Persatuan
Dan Kesatuan Bangsa
Hal-hal yang berhubungan dengan arti
dan makna persatuan Indonesia apabila dikaji lebih jauh, terdapat beberapa
prinsip yang juga harus kita hayati serta kita pahami lalu kita amalkan. Prinsip-prinsip
itu adalah
a.
Prinsip Bhineka Tunggal Ika
Prinsip ini mengharuskan kita
mengakui bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang terdiri dari berbagai
suku, bahasa, agama dan adat kebiasaan yang majemuk. Hal ini mewajibkan kita
bersatu sebagai bangsa Indonesia.
b.
Prinsip Nasionalisme Indonesia
Kita
mencintai bangsa kita, tidak berarti bahwa kita mengagung-agungkan bangsa kita
sendiri. Nasionalisme Indonesia tidak berarti bahwa kita merasa lebih unggul
daripada bangsa lain. Kita tidak ingin memaksakan kehendak kita kepada bangsa
lain, sebab pandangan semacam ini hanya mencelakakan kita. Selain tidak
realistis, sikap seperti itu juga bertentangan dengan sila Ketuhanan Yang Maha
Esa dan Kemanusiaan yang adil dan beradab.
c.Prinsip Kebebasan yang Bertanggungjawab
Manusia
Indonesia adalah makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Ia memiliki kebebasan dan
tanggung jawab tertentu terhadap dirinya, terhadap sesamanya dan dalam
hubungannya dengan Tuhan Yang maha Esa.
d.
Prinsip Wawasan Nusantara
Dengan
wawasan itu, kedudukan manusia Indonesia ditempatkan dalam kerangka kesatuan
politik, sosial, budaya, ekonomi, serta pertahanan keamanan. Dengan wawasan itu
manusia Indonesia merasa satu, senasib sepenanggungan, sebangsa dan setanah
air, serta mempunyai satu tekad dalam mencapai cita-cita pembangunan nasional.
e. Prinsip
Persatuan Pembangunan untuk Mewujudkan Cita-cita Reformasi
Dengan semangat persatuan Indonesia
kita harus dapat mengisi kemerdekaan serta melanjutkan pembangunan menuju
masyarakat yang adil dan makmur
3.
Pengamalan Nilai-nilai Persatuan dan Kesatuan
Pengamalan Nilai-nilai Persatuan dan Kesatuan antara
lain :
a.
Mempertahankan Persatuan dan Kesatuan Wilayah
Indonesia. Pepatah mengatakan “bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh”. Oleh karena
itu yang perlu kita tegakkan dan lakukan adalah:
b. meningkatkan
semangat kekeluargaan, gotong-royong dan musyawarah; meningkatkan kualitas
hidup bangsa Indonesia dalam berbagai aspek kehidupan
c. pembangunan
yang merata serta berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia;
d. memberikan
otonomi daerah;
e. memperkuat
sendi-sendi hukum nasional serta adanya kepastian hokum
f.
perlindungan, jaminan serta menjunjung tinggi
hak asasi manusia; dan
g. memperkuat
sistem pertahanan dan keamanan sehingga masyarakat merasa terlindungi.
h. Meningkatkan
semangat Bhinneka Tunggal Ika.
i.
Mengembangkan
semangat kekeluargaan.Yang perlu kita lakukan setiap hari usahakan
atau “budayakan saling bertegur sapa.”
j.
Menghindari penonjolan sara/perbedaan. Karena bangsa
Indonesia terdiri dari berbagai macam suku, bahasa, agama serta adat-istiadat
kebiasaan yang berbeda-beda, maka kita tidak boleh melakukan perbuatan yang
dapat menimbulkan perpecahan.
BAB V
PERGAULAN DAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL
A.
Pergaulan dan Tanggung Jawab Sosial
Manusia bertanggungjawab terhadap tindakan mereka.
Manusia menanggung akibat dari perbuatannya dan mengukurnya pada berbagai
norma. Di antaranya adalah nurani sendiri, standar nilai setiap pribadi.
Norma-norma nilai ini dapat dibentuk dengan berbagai macam cara. Kehidupan
bersama antar manusia membentuk norma selanjutnya, yakni aturan-aturan,
hukum-hukum yang dibutuhkan suatu masyarakat tertentu. Dalam negara-negara
modern aturan-aturan atau hukum-hukum tersebut termaktub dalam sebuah sistem
hukum dan sama bagi semua warga. Apabila aturan-aturan ini dilanggar yang
bersangkutan harus memperoleh hukuman atau sanksi. Jika ia misalnya merugikan
hak milik orang lain maka ia menurut Kitab Hukum Federal Jerman wajib mengganti
kerugian yang ditimbulkan. Pengadilan dapat menghukum sikap yang bersalah
(pelanggaran) berdasarkan KUHP.
Pada hakikatnya hanya masing-masing individu yang dapat
bertanggungjawab. Hanya mereka yang memikul akibat dari perbuatan mereka. Suatu
masyarakat yang tidak mengakui bahwa setiap individu mempunyai nilainya sendiri
yang berhak diikutinya tidak mampu menghargai martabat individu tersebut dan
tidak mampu mengenali hakikat kebebasan. Semua bentuk dari apa yang disebut
dengan tanggungjawab kolektif mengacu pada tanggungjawab individu. Istilah
tanggungjawab bersama umumnya hanyalah digunakan untuk menutup-nutupi
tanggungjawab itu sendiri.
Kebebasan dan tanggungjawab tidak dapat dipisahkan. Orang
yang dapat bertanggungjawab terhadap tindakannya dan mempertanggungjawabkan
perbuatannya hanyalah orang yang mengambil keputusan dan bertindak tanpa
tekanan dari pihak manapun atau secara bebas. Liberalisme menghendaki satu
bentuk kehidupan bersama yang memungkinkan manusianya untuk membuat keputusan
sendiri tentang hidup mereka. Karena itu bagi suatu masyarakat liberal hal yang
mendasar adalah bahwa setiap individu harus mengambilalih tanggungjawab. Ini
merupakan kebalikan dari konsep sosialis yang mendelegasikan tanggungjawab
dalam ukuran seperlunya kepada masyarakat atau negara. Kebebasan berarti
tanggungjawab; Itulah sebabnya mengapa kebanyakan manusia takut terhadapnya.
B.
Kepentingan Umum (Nasional)
Tokoh yang menjelaskan konsep kepentingan nasional pertama
kali yaitu Hans Morgenthau dengan pendekatan realisnya (Hyndman, 1970/1971 :
7). Para penganut realis menyamakan kepentingan nasional atau kepentingan umum
sebagai upaya untuk mengejar power, dimana power adalah segala sesuatu yang
dapat mengembangkan dan memelihara kontrol suatu negara terhadap negara lain.
Hubungan kekuasaan atau pengendalian ini dapat melalui teknik pemaksaan atau
kerjasama. Karena itu kekuasaan dan kepentingan nasional dianggap sebagai
sarana dan sekaligus tujuan dari tindakan suatu negara untuk bertahan hidup (survival)
dalam politik internasional (Perwita & Yani, 2006 : 35).
Pengertian kepentingan nasional dapat dijelaskan dalam dua aspek. Pertama, kepentingan nasional adalah
kebaikan bersama bagi masyarakat. Definisi ini melihat masyarakat sebagai
sebuah komunitas, dengan hubungan yang saling menghormati, menghargai, serta
mengikat anggotanya secara bersama-sama. Dengan kata lain, kepentingan nasional
pada aspek ini dilihat secara umum. Yaitu sebagai ungkapan untuk kebaikan
bersama bagi masyarakat. Kedua, kepentingan
nasional merujuk pada prinsip berdiplomasi yang mengedepankan kebaikan bersama
dari masyarakat dalam hubungannya dengan unit nasional lainnya sebagai tujuan
akhir dari aksi diplomasi. Dalam hal ini kepentingan nasional merupakan tujuan
negara yang ingin mempertahankan atau menambah kekuasaannya (Clinton, 1986 :
497-500).
Kepentingan nasional juga dapat dijelaskan sebagai tujuan fundamental dan
faktor penentu akhir yang mengarahkan para pembuat keputusan dari suatu negara
dalam merumuskan kebijakan luar negerinya (Perwita & Yani, 2006 : 35). Maka
dari itu, kepentingan nasional sangat erat kaitannya dengan foreign policy atau kebijakan luar negeri.
Kebijakan luar negeri merupakan strategi atau rencana tindakan yang dibuat oleh
para pembuat keputusan negara dalam menghadapi negara lain atau unit politik
internasional lainnya, dan dikendalikan untuk mencapai tujuan nasional spesifik
yang dituangkan dalam terminologi kepentingan nasional. Kebijakan luar negeri
bertujuan untuk mencapai kepentinghan nasional masyarakat (Perwita & Yani,
2006 : 49). Dengan kata lain, kebijakan luar negeri merupakan suatu alat untuk
mencapai kepentingan nasional suatu negara.
Dalam menjalankannya, kepentingan nasional harus dilandasi dengan rasionalitas
dan moralitas. Jika pelaksanaan kepentingan nasional hanya dilandasi oleh
rasionalitas, suatu kepentingan nasional bisa saja tidak bermoral karena
rasionalitas mengacu pada preferensi aktor itu sendiri. Moralitas dapat
menjawab hal ini. Dengan dilaksanakannya national
interest with morality, kepentingan nasional akan dijalankan sesuai dengan
moral-moral yang berlaku dalam masyarakat (Oppenheim, 1987 : 371-3). Misalnya
pemerintahan yang bersifat diktator. Menurut pemerintah, kediktatoran merupakan
hal yang rasional karena dengan sistem tersebut, pemerintah dapat dengan mudah
mengatur negara. Namun, kediktatoran melanggar moral seperti hak asasi manusia.
Menurut Nuechterlein, ada empat kepentingan dasar yang memotivasi suatu negara
untuk menjalankan kepentingan nasional, yaitu: (1) kepentingan pertahanan; (2)
kepentingan ekonomi; (3) kepentingan tatanan dunia; (4) kepentingan ideologi.
Kepentingan pertahanan yaitu kepentingan suatu negara untuk melindungi
bangsa-negara dan penduduk dari ancaman kekerasan fisik oleh negara lain.
Kepentingan ekonomi yaitu kepentingan suatu negara untuk meningkatkan ekonomi
negaranya dengan menumbuhkan relasi atau kerjasama dengan negara lain.
Kepentingan tatanan dunia yaitu kepentingan untuk mempertahankan politik internasional
dan sistem ekonomi dimana suatu bangsa-negara merasa aman dan dimana penduduk
bisa beroperasi secara damai di luar negaranya. Kepentingan ideologi adalah
kepentingan negara untuk melindungi nilai-nilai ideologi negaranya dari ancaman
ideologi negara lain (Williams, 2012 : 33). Karena adanya desakan dari empat
aspek tersebut, negara kemudian termotivasi untuk survive dalam politik internasional.
Maka dari itu, kemudian negara menjalankan kepentingan nasionalnya.
Kepentingan-kepentingan ini selanjutnya dapat ditinjau dengan dimensi atau
sudut pandang dari kepentingan nasional.
Dimensi atau sudut pandang dari kepentingan nasional terbagi menjadi basic (kepentingan vital) dan secondary interest (kepentingan
sekunder). Pertama, kepentingan vital merupakan kepentingan yang sangat tinggi
nilainya sehingga suatu negara bersedia untuk berperang dalam mencapainya.
Contohnya yaitu melindungi daerah-daerah wilayahnya, menjaga dan melestarikan
nilai-nilai hidup yang dianut suatu negara. Kedua, kepentingan sekunder
meliputi segala macam keinginan yang hendak dicapai masing-masing negara, namun
mereka tidak bersedia berperang dimana masih terdapat kemungkinan lain untuk
mencapainya. Misalnya dengan jalan perundingan (Perwita & Yani, 2006 : 52).
C.
Peraturan
Perundangan Mengenai Kepentingan Umum
Hasil
penelitian menunjukkan bahwa kepentingan umum telah banyak diatur dalam
berbagai peraturan perundang-undangan, yang rumusannya berbeda satu sama lain,
Diantaranya seperti yang terdapat dalam: Undang-undang Nomor 20 Tahun 1961
Tentang Pencabutan Hak-hak Atas Tanah dan Benda-benda Yang Ada di atasnya;
Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 1973 Tentang Pelaksanaan Pencabutan Hak-hak
Atas Tanah dan Benda-benda Yang Ada di Atasnya; Keputusan Presiden Nomor 55
Tahun 1993 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum; Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan
Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk kepentingan Umum; Peraturan
Presiden Nomor 65 Tahun 2006 Tentang
Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah
Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk kepentingan Umum.
Peraturan
perundang-undangan tersebut diatas juga menyebutkan secara rinci
kriteria jenis kegiatan apa saja yang termasuk kegiatan pembangunan untuk
kepentingan umum, yang juga berbeda pada setiap peraturan tersebut. Pengertian
kepentingan umum sebagaimana dijelaskan dalam beberapa peraturan
perundang-undangan di atas masih sangat luas, karena tidak memberikan suatu
batasan makna yang tegas, sehingga sangat sulit untuk menentukan kriteria jenis
kegiatan apa saja yang termasuk kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum.
Menurut peneliti, kepentingan umum adalah kepentingan yang langsung berhubungan
dengan hajat hidup orang banyak, oleh sebab itu dalam menentukan kriteria
kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum harus dibatasi dengan tiga batasan
yaitu, bahwa kegiatan dilakukan dan selanjutnya dimiliki pemerintah serta tidak
digunakan untuk mencari keuntungan.
Negara memiliki legitimasi untuk melakukan pencabutan
hak milik atas tanah yang dimiliki oleh masyarakat untuk kepentingan umum
berdasar pasal Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945, hak milik atas tanah
yang sudah dicabut selanjutnya dikuasai oleh negara. Berdasar pasal 2 UUPA dan pejelasannya,
menurut konsep UUPA, pengertian “dikuasai” oleh Negara bukan berarti
“dimiliki”, melainkan hak yang memberi wewenang kepada Negara untuk: Mengatur
dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaannya;
Menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas (bagian dari) bumi,
air, dan ruang angkasa itu; Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum
antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan
ruang angkasa. Artinya, dikuasainya bumi (tanah), air, dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya oleh Negara, semata-mata dimaksudkan agar dipergunakan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
BAB VI
HUBUNGAN KERJASAMA ANTAR BANGSA
A.
Pengertian Kerjasama
Kerjasama merupakan salah satu fitrah manusia
sebagai mahluk sosial. Kerjasama memiliki dimensi yang sangat luas dalam
kehidupan manusia, baik terkait tujuan positif maupun negatif. Dalam hal apa, bagaimana,
kapan dan di mana seseorang harus bekerjasama dengan orang lain tergantung pada
kompleksitas dan tingkat kemajuan peradaban orang tersebut. Semakin modern
seseorang, maka ia akan semakin banyak bekerjasama dengan orang lain, bahkan
seakan tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu tentunya dengan bantuan perangkat
teknologi yang modern pula. Bentuk kerjasama dapat dijumpai pada semua kelompok
orang dan usia. Sejak masa kanak-kanak, kebiasaan bekerjasama sudah diajarkan
di dalam kehidupan keluarga. Setelah dewasa, kerjasama akan semakin berkembang
dengan banyak orang untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya. Pada taraf ini,
kerjasama tidak hanya didasarkan hubungan kekeluargaan, tetapi semakin
kompleks. Dasar utama dalam kerja sama ini adalah keahlian, di mana
masing-masing orang yang memiliki keahlian berbeda, bekerja bersama menjadi
satu kelompok/tim dalam menyelesaikan sebuah pekerjaan. Kerjasama tersebut
adakalanya harus dilakukan dengan orang yang sama sekali belum dikenal, dan
begitu berjumpa langsung harus bekerja bersama dalam sebuah kolempok. Oleh
karena itu, selain keahlian juga dibutuhkan kemampuan penyesuaian diri dalam
setiap lingkungan atau bersama segala mitra yang dijumpai.
Dari sudut pandang sosiologis, pelaksanaan kerjasama
antar kelompok masyarakat ada tiga bentuk, yaitu: (a) bargaining yaitu
kerjasama antara orang per orang dan atau antar kelompok untuk mencapai tujuan tertentu
dengan suatu perjanjian saling menukar barang, jasa, kekuasaan, atau jabatan
tertentu, (b) cooptation yaitu kerjasama dengan cara rela
menerima unsur-unsur baru dari pihak lain dalam organisasi sebagai salah satu
cara untuk menghindari terjadinya keguncangan stabilitas organisasi, dan (c) coalition
yaitu kerjasama antara dua organisasi atau lebih yang mempunyai tujuan yang
sama. Di antara oganisasi yang
berkoalisi
memiliki batas-batas tertentu dalam kerjasama sehingga jati diri dari
masing-masing organisasi yang berkoalisi masih ada. Bentuk-bentuk kerjasama di
atas biasanya terjadai dalam dunia politik (Soekanto, 1986).
Selain pandangan sosiologis, kerjasama dapat pula
dilihat dari sudut manajemen yaitu dimaknai dengan istilah collaboration.
Makna ini sering digunakan dalam terminologi manajemen pemberdayaan staf yaitu
satu kerjasama antara manajer dengan staf dalam mengelola organisasi. Dalam
manajemen pemberdayaan, staf bukan dianggap sebagai bawahan tetapi dianggap
mitra kerja dalam usaha organisasi (Stewart, 1998). Kerjasama (collaboration)
dalam pandangan Stewart merupakan bagian dari kecakapan ”manajemen baru”
yang belum nampak pada manajemen tradisional. Dalam bersosialisasi dan
berorganisasi, bekerjasama memiliki kedudukan yang sentral karena esensi dari
kehidupan sosial dan berorganisasi adalah kesepakatan bekerjasama. Tidak ada
organisasi tanpa kerjasama. Bahkan dalam pemberdayaan organisasi, kerjasama adalah
tujuan akhir dari setiap program pemberdayaan. Manajer akan ditakar
keberhasilannya dari seberapa mampu ia menciptakan kerjasama di dalam
organisasi (intern), dan menjalin kerja sama dengan pihak-pihak diluar
organisasi (ekstern).
B.
Hubungan
Internasional
Hubungan
internasional adalah interaksi yang berlangsung antara manusia yang satu dengan
manusia yang lain yang berasal dari berbagai bangsa di penjuru dunia. Hubungan
internasional sering didefinisikan juga hubungan antarbangsa. Hubungan
internasional dapat terjadi dalam bentuk hubungan individual, hubungan
antarkelompok, dan hubungan antarnegara. Hubungan internasional antarindividu
dan antarlembaga sangat dipengaruhi oleh hubungan antarnegara. Ada tiga jenis
pola umum hubungan internasional antarnegara/bangsa dalam dunia internasional,
yaitu pola penjajahan (kolonial), ketergantungan, dan sama derajat.
- Hubungan Internasional Penjajahan: Pola hubungan internasional jenis ini ditandai oleh adanya ketidaksetaraan hubungan antara negara/bangsa yang satu dengan negara/bagsa lainnya. Salah satu pihak berkedudukan sebagai penjajah, sedangkan pihak yang lain sebagai terjajah/tidak merdeka. Hubungan tersebut ditandai oleh penindasan oleh negara/bangsa penjajah terhadap negara/bangsa terjajah.
- Hubungan Internasional Ketergantungan: Pola hubungan internasional ini ditandai oleh adanya ketidaksetaraan antara bangsa/negara yang satu dengan bangsa/negara yang lain. Hanya saja, para pihak dalam hubungan tersebut sama-sama merupakan negara/bangsa merdeka secara politik (memiliki pemerintahan sendiri). Meskipun demikian, salah satu pihak tergantung kepada pihak lainnya dalam berbagai bidang (ekonomi, politik, sosia budaya dan pertahanan).
- Hubungan Internasional Sederajat: Pola hubungan internasional ini ditandai dengan adanya kesetaraan kedudukan antara bangsa/negara yang satu dengan bangsa/negara yang lain. Tidak ada pihak yang menindas/mengeksploitasi. Para pihak bekerjasama untuk mewujudkan kesejahteraan bersama. Pola hubungan internasional semacam ini merupakan pola hubungan yang ideal.
Hubungan
internasional dianggap penting karena semua negara/bangsa di dunia membutuhkan dan
melakukan hubungan internasional. Hal ini disebabkan karena adanya saling
ketergantungan (interdependensi) dan saling membutuhkan antarnegara/bangsa.
Kondisi interdependensi ini terjadi di berbagai bidang kehidupan baik dalam
bidang ekonomi, politik, sosial budaya, maupun pertahanan.
C. Asas-Asas
Hubungan Internasional
Pada pelaksanaannya, suatu hubungan
internasional akan berjalan dengan baik jika negara-negara yang melakukan
hubungan selalu berpedoman pada asas-asas yang dipatuhi bersama. Asas-asas
tersebut antara lain:
- Asas Teritorial
Artinya bahwa suatu negara akan
mempunyai kekuasaan secara penuh untuk memberlakukan hukum atas semua orang dan
barang yang berada di wilayahnya.
- Asas Kebangsaan
Artinya bahwa dimanapun seseorang
berada, selama seseorang masih menjadi warga negara suatu negara, maka orang
tersebut masih tetap berada dibawah hukum negaranya tersebut.
- Asas Kepentingan Umum
Artinya bahwa suatu negara dapat
menyesuaikan diri terhadap semua keadaan untuk membela kepentingan umum. Jadi,
hukum tidak terikat secara kaku pada batas-batas wilayah nasional suatu negara.
D. Sarana-Sarana
Hubungan Internasional
Suatu hubungan internasional antar
negara dapat berlangsung dengan baik jika melalui pedoman-pedoman dan tatacara
tertentu yang disepakati bersama baik secara tertulis maupun tidak
tertulis.
- Diplomasi
Diplomasi dapat diartikan sebagai proses komunukasi antarpelaku hubungan internasional untuk mencapai tujuan bersama atau kesepakatan tertentu. Diplomasi sendiri biasanya dilakukan oleh instrumen-instrumen hubungan internasional yaitu kementrian luar negeri dan perwakilan diplomatik. Kementrian luar negeri mempunyai pusat kegiatan di ibukota negara pengirim, sedangkan perwakilan diplomatik mempunyai pusat kegiatan di ibukota negara penerima. Seorang wakil diplomatik (diplomat) yang dikirim ke luar negeri mempunyai tiga fungsi utama, yaitu sebagai lambang negara pengirim, sebagai wakil yuridis yang sah menurut hukum dan hubungan internasional, dan sebagai wakil diplomatik di negara penerima. - Negosiasi
Negosiasi disebut juga dengan perundingan. Negosiasi (perundingan) dalam hubungan internasional dapat diartikan sebagai proses interaksi antar pelaku hubungan internasional untuk untuk berusaha menyelesaikan tujuan masing-masing yang berbeda dan saling bertentangan. - Lobby
Lobby adalah kegiatan politik internasional yang dilakukan untuk mempengaruhi negara lain agar sesuai dengan kepentingan negara yang melakukan lobby.
E. Lembaga Internasional dan PBB
Lembaga Internasional
adalah wadah untuk mencapai tujuan bersama yang mengatur aktivitas berskala
internasional, dalam hal ini tentunya negara adalah anggotanya. Bentuk lembaga
ini bisa bermacam-macam; sosial, politik, ekonomi, budaya, keamanan, dsb. Meski
demikian lembaga Internasional terkadang terbatas oleh ruang dan waktu, hal ini
diakibatkan perbedaan struktur dan kultur negara itu sendiri. Otoritas negara
terkadang menghambat kinerja dari lembaga internasional, belum lagi intervensi
dari negara-negara yang memiliki "power" dan "veto."
Perserikatan
Bangsa-Bangsa
biasa disingkat PBB adalah sebuah organisasi internasional
yang anggotanya hampir seluruh negara di dunia.
Lembaga ini dibentuk untuk memfasilitasi dalam hukum internasional, pengamanan
internasional, lembaga ekonomi,
dan perlindungan sosial.
Perserikatan Bangsa-bangsa atau PBB didirikan di San Francisco pada 24 Oktober 1945 setelah
Konferensi Dumbarton Oaks di Washington, DC,
namun Sidang Umum yang
pertama - dihadiri wakil dari 51 negara - baru berlangsung pada 10 Januari 1946 (di Church House, London).
Dari 1919 hingga 1946,
terdapat sebuah organisasi yang mirip, bernama Liga Bangsa-Bangsa, yang bisa dianggap
sebagai pendahulu PBB.
Sejak didirikan pada tahun 1945 hingga 2011, sudah ada 193
negara yang bergabung menjadi anggota PBB, termasuk
semua negara yang menyatakan kemerdekaannya masing-masing dan diakui
kedaulatannya secara internasional, kecuali Vatikan.
Selain negara anggota, beberapa organisasi internasional dan organisasi
antar-negara mendapat tempat sebagai pengamat permanen yang mempunyai kantor di
Markas Besar PBB, dan ada juga yang hanya berstatus sebagai pengamat. Palestina danVatikan adalah negara bukan anggota (non-member
states) dan termasuk pengamat permanen (Tahta Suci mempunyai wakil permanen
di PBB, sedangkan Palestina mempunyai kantor permanen di PBB).
Organisasi ini memiliki enam organ utama: Majelis Umum (majelis musyawarah utama), Dewan Keamanan (untuk memutuskan resolusi tertentu
untuk perdamaian dan keamanan), Dewan Ekonomi
dan Sosial (untuk
membantu dalam mempromosikan kerjasama ekonomi, sosial internasional dan
pembangunan), Sekretariat (untuk menyediakan studi, informasi
dan fasilitas yang diperlukan oleh PBB), Mahkamah Internasional (organ peradilan primer), Dewan Perwalian (yang saat ini tidak aktif). instansi Sistem PBB lainnya yang menonjol termasuk Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Program Pangan Dunia (WFP) dan Dana Anak-anak Perserikatan
Bangsa-Bangsa(UNICEF). Organisasi ini didanai dari sumbangan yang
ditaksir dan sukarela dari negara-negara anggotanya, dan memiliki enam bahasa
resmi: Arab, Cina, Inggris, Perancis, Rusia,
dan Spanyol.
1. Fungsi dan Tujuan PBB adalah:
- Memelihara perdamaian dan keamanan
internasional.
- Mengembangkan hubungan persaudaraan
antarbangsa.
- Menciptakan kerjasama dalam memecahkan
masalah- masalah internasional dalambidang ekonomi,sosial budaya dan hak asasi
manusia.
- Menjadikan PBB sebagai pusat usaha
dalam mewujudkan tujuan bersama cita-cita diatas.
Indonesia merupakan bagian dari
masyarakat dunia. Oleh karena itu, Indonesia terlibat secara aktif
dalam lembaga-lembaga internasional. Lembaga internasional atau organisasi
internasional adalah organisasi tetap berdasarkan suatu persetujuan, kriteria,
dan tujuan tertentu. Dalam lembaga-lembaga
internasional, Indonesia menunjukkan peran aktifnya.
F.
Politik
Luar Negeri Indonesia Bebas Aktif
1.
Pengertian
Politik Luar Negri Indonesia Bebas dan Aktif
Pembukaan UUD1945 alinea ke-4 menegaskan
bahwa salah satu tujuan nasional Indonesia (dari dalam) adalah melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kebebasan, perdamaian abadi, dan keadilan
sosial. Guna mewujudkan tujuan tersebut, dirumuskanlah kebijakan politik luar
negri Indonesia yang disebut politik luar negri bebas dan aktif.
Berikut adalah beberapa pengertian
tentang politik luar negri bebas dan aktif.
a. Menurut A.W. Wijaya
a. Menurut A.W. Wijaya
Bebas berarti tidak terikat oleh suatu
ideologi atau suatu politik negara asing atau bagian-bagian negara
tertentu (ex. blok fasis dan sekutu) atau negara adikuasa (superpower). Aktif
berarti tidak memberikan sumbangan atau bantuan realistis, namun giat
mengembangkan kebebasan persahabatan dan kerja sama internasional dengan cara
menghormati kedaulatan dan keutuhan negara lain.
b.
Undang-undang
Nomor 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negri
Berdasarkan UU No. 37 Tahun 1999 tentang
Hubungan Luar Negri dikemukakan bahwa politik luar negri diartikan sebagai
kebijakan, sikap, langkah pemerintah republik Indonesia yang diambil dalam
melakukan hubungan dengan negara lain, organisasi internasional, dan subjek
hukum internasional lainya dalam rangka menghadapi masalah internasional guna
mencapai tujuan nasional.
c.
Pendapat
Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja
Politik luar negri Indonesia bersifat
bebas aktif, batasan bebas dan aktif adalah sebagai berikut.
- Bebas, dalam artian bahwa Indonesia tidak memihak pada kekuatan-kekuatan yang pada dasarnya tidak sesuai dengan kepribadian bangsa yang dicerminkan dalam falsafah Pancasila.
- Aktif, berarti bahwa dalam menjalankan kebijakan luar negrinya, Indonesia tidak bersikap pasif reaktif atas kejadian-kejadian internasional, melainkan bersikap aktif.
Di
dalam garis-garis besar haluan tahun 1999, dinyatakan bahwa politik luar ngeri
yang bebas dan proakti. Makna politik luar ngeri yang bebas dan proaktif
memiliki makna yang sama dengan bebas aktif. Istilah politik luar negri bebas
proaktif yang terdapat dalam GBHN 1999, merupakan bentuk pembaruan nama atau
istilah. Adapun penjelasan mengenai pengertian politik luar negri bebas pro
aktif adalah sebagai berikut. Bebas artinya sebagai berikut :
- Bebas menentukan masa depan/nasib bangsanya sendiri tanpa campur tangan bangsa atau negara lain.
- Bebas tidak mengikuti salah satu kewenangan/kekuatan di dunia ini baik Blok Barat maupun Blok Timur ataupun negara-negara maju (superpower).
- Bebas menentukan sikap apapun yang dilandasi Pancasila dan UUD 1945 dalam menghadapi berbagai masalah internasional.
Proaktif artinya sebagai berikut.
- Tidak tinggal diam dalam menghadapi masalah internasional sesuai dengan komitmen, aktif menghapuskan penjajahan di dunia, menciptakan ketertiban dunia, dan menegakkan keadilan dalam dunia internasional.
- Ikut Aktif dalam setiap kegiatan internasional asalkan berdasarkan asas kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Plu
Langganan:
Postingan (Atom)
-
BAB I Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) A. Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) P engertian PKn (n) tidak sama dengan P...
-
BAB VIII Model Pembelajaran PKn Tematis Di SD Kelas Rendah Pendahuluan Pembelajaran merupakan proses komunikasi dua arah yang dilak...
-
BAB I PEMIKIRAN TOKOH PEMBELAJARAN BERWAWASAN KEMASYARAKATAN Pengantar Manusia sebagai mahkluk yang mempunyai rasa keingintahuan ...