Rabu, 20 September 2017

BAHAN MATERI KONSEP DASAR PKN




BAB I
Pendidikan Kewarganegaraan (PKn)

A. Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan (PKn)
Pengertian PKn (n) tidak sama dengan PKN (N). PKN (N) adalah Pendidikan Kewargaan Negara, sedangkan PKn (n) adalah Pendidikan Kewarganegaraan. Istilah KN merupakan terjemahan civics. Menurut Soemantri (1967) merupakan mata pelajaran sosial yang bertujuan untuk membentuk atau membina warga negara yang baik, yaitu warganegara yang tahu, mau dan mampu berbuat baik. Warga negara yang baik adalah warga negara yang mengetahui dan menyadari serta melaksanakan hak dan kewajibannya sebagai warga negara (Winata Putra 1978), itulah maksud dari PKN (N). PKn (n) adalah Pendidikan Kewarganegaraan yaitu yang menyangkut status formal warga negara yang pada awalnya diatur dalam undang-undang no.2 th 1949 isinya mengatur tentang diri kewarganegaraan peraturan tentang naturalisasi atau pemerolehan status sebagai warga negara Indonesia (Winata Putra 1995). Undang-undang ini telah diperbarui dalam UU no.62 th 1958. dalam perkembanganya karena UU ini dianggapa cukup diskriminatif maka diperbarui lagi yang sekarang diatur dalam UU no.12 th 2006 tentang kewarganegaraan, yang telah diberlakukan mulai 1 Agustus 2006 UU ini sebelumnya telah disahkan oleh DPR dalam sidang paripurna tanggal 11 Juli 2006.
Ada hal yang menarik dalam UU ini karena didalamnya telah memberi perlindungan pada kaum perempuan yang merubah menikah dengan warga negara asing dan nasib anak-anaknya (Harpen dan Jehani 2006). Perubahan ini dibangun setelah menimbang UUD hasil amandemen yang sarat dengan kebebasan serta penuh dengan perlindungan HAM serta hasil konvensi internasional yang anti diskriminasi.
Dengan demikian sudah jelas bahwa KN berbeda dengan Kn karena KN merupakan program pendidikan tentang hak dan kewajiban warga negara yang baik. Sedangkan Kn merupakan status formal warga negara yang diatur dalam UU no.2 th 1949 tentang naturalisasi dan yang terakhir sekarang diperbarui lagi dalam UU no.12 th 2006.
B. Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn)
Tujuan PKn adalah untuk membentuk watak atau karakteristik warga negara yang baik. Sedangkan tujuan mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, menurut Mulyasa (2007) adalah untuk menjadikan siswa
1) mampu berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi persoalan hidup maupun isu kewarganegaraan di negaranya.
2) mau berpartisipasi dalam segala bidang kegiatan, secara aktif dan bertanggung jawab, sehingga bisa bertindak secara cerdas dalam semua kegiatan, dan
3) bisa berkembang secara positif dan demokratis, sehingga mampu hidup bersama dengan bangsa lain di dunia dan mampu berinteraksi, serta mampu memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi dengan baik.
Hal ini akan mudah tercapai jika pendidikan nilai moral dan norma tetap ditanamkan pada siswa sejak usia dini karena jika siswa sudah memiliki nilai moral yang baik maka tujuan untuk mencapai warga negara yang baik akan mudah terwujudkan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan PKn di SD adalah untuk menjadikan warganegara yang baik, yaitu warganegara yang tahu, mau, dan sadar akan hak dan kewajibannya. Dengan demikian, diharapkan kelak dapat menjadi bangsa yang terampil dan cerdas, dan bersikap baik sehingga mampu mengikuti kemajuan teknologi modern.



C. Ruang Lingkup Pendidikan Kewarganegaraan (PKn)
Berdasarkan tujuan tersebut di atas, ruang lingkup PKn secara umum meliputi aspek-aspek sebagai berikut:  (1) Persatuan dan Kesatuan, (2) Norma Hukum dan Peraturan, (3) HAM, (4) Kebutuhan warga Negara, (5) Konstitusi Negara, (6) Kekuasaan Politik, (7) Kedudukan Pancasila, dan (8) Globalisasi.
PKn SD terdiri dari 24 standar kompetensi yang dijabarkan dalam 53 kompetensi dasar. Menurut Mulyasa (2007), delapan kelompok tersebut dijelaskan pada bagian berikut.
1) Persatuan dan Kesatuan bangsa, meliputi hidup rukun dalam perbedaan, cinta lingkungan, kebanggaan sebagai bangsa Indonesia, sumpah pemuda, keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, partisipasi dalam pembelaan negara, sikap positif terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia, keterbukaan dan jaminan keadilan.
2) Norma, Hukum, dan Peraturan, meliputi tertib dalam kehidupan keluarga, tata tertib di sekolah, norma yang berlaku di masyarakat, peraturan-peraturan daerah, norma-norma dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sistim hukum dan peradilan nasional, dan hukum dan peradilan internasional.
3) Hak Asasi Manusia, meliputi hak dan kewajiban anak, hak dan kewajiban anggota masyarakat, instrumen nasional dan internasional HAM, pemajuan, penghormatan dan perlindungan HAM.
4) Kebutuhan Warganegara, meliputi hidup gotong royong, harga diri sebagai warga masyarakat, kebebasan berorganisasi, kemerdekaan rnengeluarkan pendapat, menghargai keputusan bersama, prestasi diri, persamaan kedudukan warga negara.
5) Konstitusi Negara, meliputi proklamasi kemerdekaañ dan konstitusi yang pertama, konstitusi-konstitusi yang pernah digunakan di Indonesia, Hubungan dasar negara dengan konstitusi.
6) Kekuasan dan Politik, meliputi pemerintahan desa dan kecamatan, pemerintahan daerah dan otonomi-pemerintah pusat, demokrasi dan sistem politik, budaya politik, budaya demokrasi menuju masyarakat madani, sistem pemerintahan, pers dalam masyarakat demokrasi.
7) Kedudukan Pancasila, meliputi kedudukan pancasila sebagai dasar negara dan ideologi negara, proses perumusan pancasila sebagai dasar negara, pengamalan nilai-nilai pancasila dalam kehidupan sehari-hari, pancasila sebagai ideologi terbuka.
8) Globalisasi, meliputi globalisasi di lingkungannya, politik luar negeri Indonesia di era globalisasi, dampak globalisasi, hubungan internasional dan organisasi internasional, dan mengevaluasi globalisasi.












BAB II
NILAI, NORMA DAN MORAL PANCASILA
A.    Pengertian Nilai
Dalam berbahasa sehari-hari sering kali kita mendengar atau membaca kata penilaian, yang kata-asalnya adalah nilai. Nilai yang dalam bahasa Inggrisnya adalah value biasa diartikan sebagai harga, penghargaan, atau taksiran. Maksudnya adalah harga yang melekat pada sesuatu atau penghargaan terhadap sesuatu. Bambang Daroeso (1986:20) mengemukakan bahwa nilai adalah suatu kualitas atau penghargaan terhadap sesuatu, yang dapat menjadi dasar penentu tingkah laku seseorang. Darji Darmodiharjo (1995: 1) mengatakan bahwa nilai adalah kualitas atau keadaan sesuatu yang bermanfat bagi manusia, baik lahir maupun batin. Sementara itu Widjaja (1985: 155) mengemukakan bahwa menilai berati menimbang, yaitu kegiatan menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain (sebagai standar), untuk selanjutnya mengambil keputusan. Keputusan itu dapat menyatakan : berguna atau tidak berguna, benar atau tidak benar, indah atau tidak indah, baik atau tidak baik dan seterusnya.
Menurut Fraenkel, nilai pada dasarnya disebut sebagai standar penuntun dalam menentukan sesuatu itu baik, indah, berharga atau tidak. Frondizi (1963: 1-2) mengemukakan bahwa aksiologi adalah cabang filsafat yang berusaha menjawab pertanyaan, apakah sesuatu itu dikatakan bernilai karena memang benar-benar bernilai, atau apakah sesuatu itu karena dinilai maka menjadi bernilai ? Diantara para ahli terdapat perbedaan pendapat tentang sifat nilai dari sesuatu, yaitu pendapat yang mengatakan bahwa nilai itu bersifat subyektif dan nilai itu bersifat obyektif. Pengertian nilai itu bersifat subyektif artinya bahwa nilai dari suatu obyek itu tergantung pada subyek yang menilainya.
Sebagai ilustrasi, pohon-pohon kelapa yang batangnya bengkok di suatu pantai sangat mungkin memiliki nilai bagi seorang seniman, tapi tidak bernilai bagi seorang pedagang kayu bangunan. Sebuah bangunan tua warisan zaman Belanda yang sudah keropos sangat mungkin memiliki nilai bagi sejarawan, tapi tidak demikian halnya bagi orang lain. Pandangan bahwa nilai itu subyektif sifatnya antara lain dianut oleh Bertens (1993: 140-141), yang mengatakan bahwa nilai berperanan dalam suasana apresiasi atau penilaian dan akibatnya suatu obyek akan dinilai secara berbeda oleh berbagai orang. Untuk memahami tentang nilai, ia membandingkannya dengan fakta. Ia mengilustrasikan dengan obyek peristiwa letusan sebuah gunung pada suatu saat tertentu. Hal itu dapat dipandang sebagai suatu fakta, yang oleh para ahli dapat digambarkan secara obyektif. Misalnya para ahli dapat mengukur tingginya awan panas yang keluar dari kawah, kekuatan gempa yang menyertai letusan itu, jangka waktu antara setiap letusan dan sebagainya. Selanjutnya bersamaan dengan itu, obyek peristiwa tersebut dapat dipandang sebagai nilai. Bagi wartawan foto, peristiwa letusan gunung tersebut merupakan kesempatan emas untuk mengabadikan kejadian yang langka dan tidak mudah disaksikan oleh setiap orang. Sementara itu bagi petani di sekitarnya, letusan gunung yang debu panasnya menerjang tanaman petani yang hasilnya hampir dipanen, peristiwa itu dipandang sebagai musibah (catatan : ilustrasi yang dicontohkan oleh Bertens tersebut sesungguhnya masih dapat dikritisi, sebab di situ tidak dibedakan antara peristiwa letusan gunung itu sendiri dengan akibat dari letusan gunung).
Sementara itu menurut para filsuf pada zamanYunani Kuno, seperti Plato dan Aristoles, nilai itu bersifat obyektif. Artinya, nilai suatu obyek itu melekat pada obyeknya dan tidak tergantung pada subyek yang menilainya. MenurutPlato, dunia konsep, dunia  ide, dan dunia nilai merupakan dunia yang senyatanya dan tetap. Menurut Brandt, sebagaimana dikutip oleh T. Sulistyono (1995: 14), sifat kekekalan itu melekat pada nilai. Demikian pula pandangan tokoh-tokoh aliran Realisme Modern, seperti Spoulding, hakikat nilai lebih utama dari padapemahaman psikologis. Pemahaman manusia terhadap suatu obyek hanyalah merupakan bagian dari dunia pengalamannya, yang tidak jarang saling bertentangan serta tidak konsisten. Berbeda dengan manusia yang sifatnya “tergantung “, maka subsistensi nilai itu bebas dari pemahaman maupun interes manusia.
B.     Jenis- Jenis Nilai
Max scheler bahwa nilai-nilai yang ada tidak sama luhurnya dan sama tingginya. Menurut tinggi dan rendahnya nilai-nilai dapat dikelompokkan menjadi empat yakni :
1.      Nilai-nilai kenikmatan
2.      Nilai-nilai kehidupan
3.      Nilai-nilai kejiwaan
4.      Nilai-nilai kerohanian
            Walter G. everet mengolongkan nilai-nilai manusiawi kedalam delapan kelompok yaitu:
1.      Nilai-nilai ekonomis
2.      Nilai-nilai kejasmanian
3.      Nilai-nilai hiburan
4.      Nilai-nilai social
5.      Nilai-nilai watak
6.      Nilai-nilai estetis
7.      Nilai-nilai intelektual
8.      Nilai-nilai keagamaan
Notonagoro membagi nilai kedalam tiga macam yaitu:
      1. Nilai material (yaitu segala sesuatu yang berguna bagi unsur jasmani manusia).
      2. Nilai vital (yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk mengadakan
           kegiatan atau aktivitas).
      3.Nilai kerohanian (yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani manusia).
Nilai kerohanian ini dapat dibedakan atas empat macam:
1.      nilai kebenaran
2.      nilai keindahan atau nilai estetis
3.      nilai kebaikan atau nilai moral
4.      nilai religius
Masih banyak lagi cara pengelompokan nilai, misalnya yang dilakukan ole N. Rescher, yaitu pembagian nilai berdasarkan pembawa nilai, hakekat keuntungan yang diperoleh, dan hubungan antara pendukung nilai dan keuntungan yang diperoleh. Begitu pula dengan pengelompokan nilai menjadi nilai intrinsic dan ekstrinsik: nilai objektif nilai subyektif,nilai positif dan nilai negative (disvalue), dan sebagainya. Notonagoro berpendapat bahwa sila-sila pancasila tergolong nilai-nilai kerohanian. Tetapi nilai kerohanian yang mengakui adanya nilai material dan nilai vital.
C.    Pengertian dan Jenis Norma
Norma adalah petunjuk tingkah laku yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan dalam hidup sehari-hari, berdasarkan suatu alasan (motivasi) tertentu dengan disertai sanksi. Sanksi adalah ancaman/akibat yang akan diterima apabila norma tidak dilakukan (Widjaja, 1985: 168).
1.      Jenis- Jenis Norma
Dalam kehidupan umat manusia terdapat bermacam-macam norma, yaitu norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, norma hukum dan lain-lain. Norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, dan norma hukum digolongkan sebagai norma umum. Selain itu dikenal juga adanya norma khusus, seperti aturan permainan, tata tertib sekolah, tata tertib pengunjung tempat bersejarah dan lain-lain.
1.1 Norma Agama
Norma agama adalah aturan-aturan hidup yang berupa perintah-perintah dan larangan-larangan, yang oleh pemeluknya diyakini bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa. Aturan-aturan itu tidak saja mengatur hubungan vertikal, antara manusia dengan Tuhan (ibadah), tapi juga hubungan horisontal, antara manusia dengan sesama manusia. Pada umumnya setiap pemeluk agama menyakini bawa barang siapa yang mematuhi perintah-perintah Tuhan dan menjauhi larangan-larangan Tuhan akan memperoleh pahala. Sebaliknya barang siapa yang melanggarnya akan berdosa dan sebagai sanksinya, ia akan memperoleh siksa. Sikap dan perbuatan yang menunjukkan kepatuhan untuk menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya tersebut disebut taqwa.
1.2 Norma Kesusilaan
Norma kesusilaan adalah aturan-aturan hidup tentang tingkah laku yang baik dan buruk, yang berupa “bisikan-bisikan” atau suara batin yang berasal dari hati nurani manusia. Berdasar kodrat kemanusiaannya, hati nurani setiap manusia “menyimpan” potensi nilai-nilai kesusilaan. Hal ini analog dengan hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh setiap pribadi manusia karena kodrat kemanusiaannya, sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa. Karena potensi nilai-nilai kesusilaan itu tersimpan pada hati nurani setiap manusia (yang berbudi), maka hati nurani manusia dapat disebut sebagai sumber norma kesusilaan. Ini sejalan dengan pendapat Widjaja tentang moral dihubungkan dengan etika, yang membicarakan tata susila dan tata sopan santun. Tata susila mendorong untuk berbuat baik, karena hati kecilnya menganggap baik, atau bersumber dari hati nuraninya, lepas dari hubungan dan pengaruh orang lain (Widjaja, 1985: 154).Tidak jarang ketentuan-ketentuan norma agama juga menjadi ketentuan-ketentuan norma kesusilaan, sebab pada hakikatnya nilainilai keagamaan dan kesusilaan itu berasal dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Demikian pula karena sifatnya yang melekat pada diri setiap manusia, maka nilai-nilai kesusilaan itu bersifat universal. Dengan kata lain, nilai-nilai kesusilaan yang universal tersebut bebas dari dimensi ruang dan waktu, yang berarti berlaku di manapun dan kapanpun juga. Sebagai contoh, tindak pemerkosaan dipandang sebagai tindakan yang melanggar kesusilaan, di belahan dunia manapun dan pada masa kapanpun juga. Kepatuhan terhadap norma kesusilaan akan menimbulkan rasa bahagia, sebab yang bersangkutan merasa tidak mengingkari hati nuraninya. Sebaliknya, pelanggaran terhadap norma kesusilaan pada hakikatnya merupakan pengingkaran terhadap hati nuraninya sendiri, sehingga sebagaimana dikemukakan dalam sebuah mutiara hikmah, pengingkaran terhadap hati nurani itu akan menimbulkan penyesalan atau bahkan penderitaan batin. Inilah bentuk sanksi terhadap pelanggaran norma kesusilaan.
1.3 Norma Kesopanan
Norma kesopanan adalah aturan hidup bermasyarakat tentang tingkah laku yang baik dan tidak baik baik, patut dan tidak patut dilakukan, yang berlaku dalam suatu lingkungan masyarakat atau komunitas tertentu. Norma ini biasanya bersumber dari adat istiadat, budaya, atau nilai-nilai masyarakat. Ini sejalan dengan pendapat Widjaja tentang moral dihubungkan dengan etika, yang membicarakan tentang tata susila dan tata sopan santun. Tata sopan santun mendorong berbuat baik, sekedar lahiriah saja, tidak bersumber dari hati nurani, tapi sekedar menghargai menghargai orang lain dalam pergaulan (Widjaja, 1985: 154). Dengan demikian norma kesopanan itu bersifat kultural, kontekstual, nasional atau bahkan lokal. Berbeda dengan norma kesusilaan, norma kesopanan itu tidak bersifat universal. Suatu perbuatan yang dianggap sopan oleh sekelompok masyarakat mungkin saja dianggap tidak sopan bagi sekelompok masyarakat yang lain. Sejalan dengan sifat masyarakat yang dinamis dan berubah, maka norma kesopanan dalam suatu komunitas tertentu juga dapat berubah dari masa ke masa. Suatu perbuatan yang pada masa dahulu dianggap tidak sopan oleh suatu komunitas tertentu mungkin saja kemudian dianggap sebagai perbuatan biasa yang tidak melanggar kesopanan oleh komunitas yang sama. Dengan demikian secara singkat dapat dikatakan bahwa norma kesopanan itu tergantung pada dimensi ruang dan waktu. Sanksi terhadap pelanggaran norma kesopanan adalah berupa celaan, cemoohan, atau diasingkan oleh masyarakat. Akan tetapi sesuai dengan sifatnya yang “tergantung” (relatif), maka tidak jarang norma kesopanan ditafsirkan secara subyektif, sehingga menimbulkan perbedaan persepsi tentang sopan atau tidak sopannya perbuatan tertentu. Sebagai contoh, beberapa tahun yang lalu ketika seorang pejabat di Jawa Timur sedang didengar kesaksiannya di pengadilan dan ketika seorang terdakwa di ibu kota sedang diadili telah ditegur oleh hakim ketua, karena keduanya dianggap tidak sopan dengan sikap duduknya yang “jegang” (menyilangkan kaki). Kasus ini menimbulkan tanggapan pro dan kontra dari berbagai kalangan dan menjadi diskusi yang hangat tentang ukuran kesopanan yang digunakan. Demikian pula halnya ketika advokat kenamaan di ibu kota berkecak pinggang di depan majelis hakim, yang oleh majelis hakim perbuatan itu bukan hanya dinilai tidak sopan, tapi lebih dari itu dinilai sebagai contempt of court (penghinaan terhadap pengadilan), sehingga tentu saja mempunyai implikasi hukum.
1.4 Norma Hukum
Norma hukum adalah aturan-aturan yang dibuat oleh lembaga negara yang berwenang, yang mengikat dan bersifat memaksa, demi terwujudnya ketertiban masyarakat. Sifat “memaksa” dengan sanksinya yang tegas dan nyata inilah yang merupakan kelebihan norma hukum dibanding dengan ketiga norma yang lain. Negara berkuasa untuk memaksakan aturan-aturan hukum guna dipatuhi dan terhadap orang-orang yang bertindak melawan hukum diancam hukuman. Ancaman hukuman itu dapat berupa hukuman bandan atau hukuman benda. Hukuman bandan dapat berupa hukuman mati, hukuman penjara seumur hidup, atau hukuman penjara sementara. Di samping itu masih dimungkinkan pula dijatuhkannya hukuman tambahan, yakni pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan pengumuman keputusan pengadilan. Demi tegaknya hukum, negara memiliki aparat-aparat penegak hukum, seperti polisi, jaksa, dan hakim. Sanksi yang tegas dan nyata, dengan berbagai bentuk hukuman seperti yang telah dikemukakan itu, tidak dimiliki oleh ketiga norma yang lain. Sumber hukum dalam arti materiil dapat berasal dari falsafah, pandangan hidup, ajaran agama, nilai-nilai kesusilaam,adat istiadat, budaya, sejarah dan lain-lain. Dengan demikian dapat saja suatu ketentuan norma hukum juga menjadi ketentuan norma-norma yang lain. Sebagai contoh, perbuatan mencuri adalah perbuatan melawan hukum (tindak pidana, dalam hal ini : kejahatan), yang juga merupakan perbuatan yang bertentangan dengan norma agama, kesusilaan (asusila), maupun kesopanan (a sosial). Jadi, diantara norma-norma tersebut mungkin saja terdapat kesamaan obyek materinya, akan tetapi yang tidak sama adalah sanksinya. Akan tetapi, sebagai contoh lagi, seorang yang mengendari kendaraan bermotor tanpa memiliki SIM, meskipun tidak melanggar norma agama, akan tetapi melanggar norma hukum.
D.    Pengertian Moral
Secara etimologis, kata moral berasal dari kata mos dalam bahasa Latin, bentuk jamaknya mores, yang artinya adalah tata-cara atau adat-istiadat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989: 592), moral diartikan sebagai akhlak, budi pekerti, atau susila. Secara terminologis, terdapat berbagai rumusan pengertian moral, yang dari segi substantif materiilnya tidak ada perbedaan, akan tetapi bentuk formalnya berbeda. Widjaja (1985: 154) menyatakan bahwa moral adalah ajaran baik dan buruk tentang perbuatan dan kelakuan (akhlak). Al-Ghazali (1994: 31) mengemukakan pengertian akhlak, sebagai padanan kata moral, sebagai perangai (watak, tabiat) yang menetap kuat dalam jiwa manusia dan merupakan sumber timbulnya perbuatan tertentu dari dirinya secara mudah dan ringan, tanpa perlu dipikirkan dan direncanakan sebelumnya. Sementara itu Wila Huky, sebagaimana dikutip oleh Bambang Daroeso (1986: 22) merumuskan pengertian moral secara lebih komprehensip rumusan formalnya sebagai berikut :
1. Moral sebagai perangkat ide-ide tentang tingkah laku hidup, dengan warna dasar tertentu yang dipegang oleh sekelompok manusia di dalam lingkungan tertentu.
2. Moral adalah ajaran tentang laku hidup yang baik berdasarkan pandangan hidup atau agama tertentu.
3. Moral sebagai tingkah laku hidup manusia, yang mendasarkan pada kesadaran, bahwa ia terikat oleh keharusan untuk mencapai yang baik , sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam lingkungannya.
Agar diperoleh pemahaman yang lebih jelas perlu diberikan ulasan bahwa substansi materiil dari ketiga batasan tersebut tidak berbeda, yaitu tentang tingkah laku. Akan tetapi bentuk formal ketiga batasan tersebut berbeda. Batasan pertama dan kedua hampir sama, yaitu seperangkat ide tentang tingkah laku dan ajaran tentang tingkah laku. Sedangkan batasan ketiga adalah tingkah laku itu sendiri Pada batasan pertama dan kedua, moral belum berwujud tingkah laku, tapi masih merupakan acuan dari tingkah laku. Pada batasan pertama, moral dapat dipahami sebagai nilai-nilai moral. Pada batasan kedua, moral dapat dipahami sebagai nilai-nilai moral atau norma-norma moral. Sedangkan pada batasan ketiga, moral dapat dipahami sebagai tingkah laku, perbuatan, atau sikap moral. Namun demikian semua batasan tersebut tidak salah, sebab dalam pembicaraan sehari-hari, moral sering dimaksudkan masih sebagai seperangkat ide, nilai, ajaran, prinsip, atau norma. Akan tetapi lebih kongkrit dari itu , moral juga sering dimaksudkan sudah berupa tingkah laku, perbuatan, sikap atau karakter yang didasarkan pada ajaran, nilai, prinsip, atau norma.
Kata moral juga sering disinonimkan dengan etika, yang berasal dari kata ethos dalam bahasa Yunani Kuno, yang berarti kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, atau cara berfikir. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989: 237) etika diartikan sebagai (1) ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak), (2) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak, dan (3) nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat. Sementara itu Bertens (1993: 6) mengartikan etika sejalan dengan arti dalam kamus tersebut. Pertama, etika diartikan sebagai nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau sekelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Dengan kata lain, etika di sini diartikan sebagai sistem nilai yang dianut oleh sekelompok masyarakat dan sangat mempengaruhi tingkah lakunya. Sebagai contoh, Etika Hindu, Etika Protestan, Etika Masyarakat Badui dan sebagaimya. Kedua, etika diartikan sebagai kumpulan asas atau nilai moral, atau biasa disebut kode etik. Sebagai contoh Etika Kedokteran, Kode Etik Jurnalistik, Kode Etik Guru dan sebagainya. Ketiga, etika diartikan sebagai ilmu tentang tingkah laku yang baik dan buruk. Etika merupakan ilmu apabila asas-asas atau nilai-nilai etis yang berlaku begitu saja dalam masyarakat dijadikan bahan refleksi atau kajian secara sistematis dan metodis.
Sementara itu menurut Magnis Suseno, etika harus dibedakan dengan ajaran moral. Moral dipandang sebagai ajaran-ajaran, wejangan-wejangan, khotbah-khotbah, patokan-patokan, entah lisan atau tertulis, tentang bagaimana ia harus bertindak, tentang bagaimana harus hidup dan bertindak, agar ia menjadi manusia yang baik. Sumber langsung ajaran moral adalah orang-orang dalam berbagai kedudukan, seperti orang tua dan guru, para pemuka masyarakat dan agama, dan tulisan-tulisan para bijak seperti kitab Wulangreh karangan Sri Sunan Paku Buwana IV. Sumber dasar ajaran-ajaran adalah tradisi dan adat istiadat, ajaran agama-agama atau ideologiideologi tertentu. Sedangkan etika bukan suatu sumber tambahan bagi ajaran moral, melainkan merupakan filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaranajaran dan pandangan-pandangan moral. Etika adalah sebuah ilmu, bukan sebuah ajaran (Magnis Suseno, 1987; 14).
Pendapat Magnis bahwa etika merupakan ilmu tidak berbeda dengan Bertens,sebagaimana terminologinya yang ketiga tersebut, di samping pada bagian lain juga menyatakan bahwa etika adalah ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan (Bertens, 1993: 4). Namun menurut Bertens, pengertian etika selain sebagai ilmu, juga mencakup moral, baik arti nilai-nilai moral, norma-norma moral, maupun kode etik.
Etika sebagai ilmu biasa dibedakan menjadi tiga macam, yaitu etika deskriptif, etika normatif, dan meta etika. Etika deskriptif mempelajari tingkah laku moral dalam arti luas, seperti adat kebiasaan, pandangan tentang baik dan buruk, perbuatan yang diwajibkan, diperbolehkan, atau dilarang dalam suatu masyarakat, lingkungan budaya, atau periode sejarah. Sebagai contoh, pengenalan terhadap adat kawin lari di kalangan masyarakat Bali, yang disebut mrangkat atau ngrorod (Koetjaraningrat, 1980: 288). Di sini, etika deskriptif tugasnya sebatas menggambarkan atau memperkenalkan dan sama sekali tidak memberikan penilaian moral. Pada masa sekarang obyek kajian etika deskpiptif lebih banyak dibicarakan oleh antropologi budaya, sejarah, atau sosiologi. Karena sifatnya yang empiris, maka etika deskriptif lebih tepat dimasukkan ke dalam bahasan ilmu pengetahuan dan bukan filsafat.
Etika normatif bertujuan merumuskan prinsip-prinsip etis yang dapat dipertangung-jawabkan secara rasional dan dapat diterapkan dalam perbuatan nyata. Berbeda dengan etika deskriptif, etika normatif tidak bersifat netral, melainkan memberikan penilaian terhadap tingkah laku moral berdasar norma-norma tertentu. Etika normatif tidak sekedar mendeskripsikan atau menggambarkan, melainkan bersifat preskriptif atau memberi petunjuk mengenai baik atau tidak baik, boleh atau tidak boleh-nya suatu perbuatan. Untuk itu di dalamnya dikemukakan argumenargumen atau diskusi-diskusi yang mendalam, dan etika normatif merupakan bagian penting dari etika.
Adapun meta etika tidak membahas persoalan moral dalam arti baik atau buruk-nya suatu tingkah laku, melainkan membahas bahasa-bahasa moral. Sebagai contoh, jika suatu perbuatan dianggap baik, maka pertanyaannya adalah : apakah arti “baik” dalam perbuatan itu, apa ukuran-ukuran atau syarat-syaratnya untuk disebut baik, dan sebagainya. Pertanyaan-pertanyaan semacam itu dapat juga dikemukakan secara kritis dan mendalam tentang makna dan ukuran adil, beradab, manusiawi, persatuan, kerakyatan, kebijaksanaan, keadilan, kesejahteraan dan sebagainya. Meta etika seolah-olah bergerak pada taraf yang lebih tinggi dari pada perilaku etis, dengan begerak pada taraf bahasa etis (meta artinya melebihi atau melampui).
E.     Hubungan antara Nilai. Norma, dan Moral

Di muka telah dikemukakan terminologi nilai, norma, dan moral. Ketiganya mempunyai hubungan yang erat, terutama dalam wacana pendidikan moral, pembentukan sikap-sikap, pembangunan watak bangsa (the character building) dan sebagainya. Dalam sistem pendidikan nasional di Indonesia, khususnya pada jenjang pendidikan dasar dan pendidikan menengah, mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) yang menggantikan mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) pada umumnya dipandang sebagai media pendidikan moral. Dalam Kurikulum/Garis-Garis Besar Program Pengajaran (GBPP) mata pelajaran tersebut dinyatakan bahwa ruang lingkup PPKn pada prinsipnya mencakup (1) Nilai Moral dan Norma, serta (2) Ideologi, Politik, Ekonomi, Sosial Budaya, Pertahanan-Keamanan, dan Perkembangan Iptek.
Struktur ketiga aspek tersebut secara hirarkhis mulai dari aspek yang paling mendasar adalah Nilai, Norma, dan Moral. Dalam hirarkhi ini, yang dimaksud moral adalah dalam pengertian sikap/tingkah laku. Kemudian, bagaimana hubungan antara nilai, norma, dan moral ? Menurut Kaelan, agar suatu nilai lebih berguna dalam menuntun sikap dan tingkah laku, maka perlu lebih dikongkritkan serta diformulasikan menjadi lebih obyektif, sehingga memudahkan manusia untuk menjabarkannya dalam tingkah laku kongkrit. Wujud yang lebih kongkrit dari nilai adalah merupakan suatu norma (Kaelan, 2000: 179). Dengan demikian, hubungan antara nilai, norma, dan moral dapat dinyatakan bahwa norma pada dasarnya merupakan nilai yang dibakukan, dijadikan standar atau ukuran bagi kualitas suatu tingkah laku.
F.      Makna Pancasila Sebagai Dasar Negara dan Fungsinya Sebagai Pandangan Hidup dan Dasar Negara Indonesia
Pancasila sebagai dasar negara Indonesia digunakan untuk mengatur pemerintahan atau penyelenggaraan pemerintah seperti halnya yang tertulis dalam pembukaan UUD 1945 yaitu “..... maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu undang-undang dasar negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada…..”
Pancasila sebagai pandangan hidup dan dasar negara Indonesia mempunyai beberapa fungsi pokok, yaitu:
1.      Pancasila dasar negara sesuai dengan pembukaan UUD 1945 dan yang pada  hakikatnya adalah sebagai sumber dari segala sumber hukum atau sumber tertib hukum.
2.      Pancasila sebagai pengatur hidup kemasyarakatan pada umumnya (merupakan
      pengertian Pancasila yang bersifat sosiologis).
3. Pancasila sebagai pengatur tingkah laku pribadi dan cara-cara dalam mencari
                 kebenaran (merupakan pengertian Pancasila yang bersifat etis dan filosofis).
Pancasila sebagai ideologi mengandung nilai-nilai yang berakar pada pandangan hidup bangsa dan falsafat bangsa. Dengan demikian memenuhi syarat sebagai suatu ideologi terbuka. Sumber semangat yang menjadikan Pancasila sebagai ideologi terbuka adalah terdapat dalam penjelasan UUD 1945: “terutama bagi negara baru dan negara muda, lebih baik hukum dasar yang tertulis itu hanya memuat aturan-aturan pokok, sedangkan aturan-aturan yang menyelenggarakan aturan pokok itu diserahkan kepada undang-undang yang lebih mudah caranya membuat, mengubah dan mencabutnya”

1. Makna Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia adalah bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi Pancasila itu menjadi cita-cita normatif bagi penyelenggaraan bernegara. Dengan kata lain, visi atau arah dari penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia adalah terwujudnya kehidupan yang ber-Ketuhanan, yang ber-Kemanusiaan, yang ber-Persatuan, yang ber-Kerakyatan, dan yang ber-Keadilan.
2. Pancasila sebagai ideologi nasional selain berfungsi sebagai cita-cita normatif penyelenggaraan bernegara, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila merupakan nilai yang disepakati bersama, karena itu juga berfungsi sebagai sarana pemersatu masyarakat yang dapat memparsatukan berbagai golongan masyarakat di Indonesia.
G.    Nilai –nilai yang terkandung dalam Pancasila
1.      Nilai Ketuhanan
Nilai ketuhanan Yang Maha Esa Mengandung arti adanya pengakuan dan keyakinan bangsa terhadap adanya Tuhan sebagai pancipta alam semesta. Dengan nilai ini menyatakan bangsa indonesia merupakan bangsa yang religius bukan bangsa yang ateis. Nilai ketuhanan juga memilik arti adanya pengakuan akan kebebasan untuk memeluk agama, menghormati kemerdekaan beragama, tidak ada paksaan serta tidak berlaku diskriminatif antarumat beragama.
2. Nilai Kemanusiaan
Nilai kemanusiaan yang adil dan beradab mengandung arti kesadaran sikap dan perilaku sesuai dengan nilai-nilai moral dalam hidup bersama atas dasar tuntutan hati nurani dengan memperlakukan sesuatu hal sebagaimana mestinya.
3. Nilai Persatuan
Nilai persatuan indonesia mengandung makna usaha ke arah bersatu dalam kebulatan rakyat untuk membina rasa nasionalisme dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Persatuan Indonesia sekaligus mengakui dan menghargai sepenuhnya terhadap keanekaragaman yang dimiliki bangsa indonesia..
4. Nilai Kerakyatan
Nilai kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan mengandung makna suatu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat dengan cara musyawarah mufakat melalui lembaga-lembaga perwakilan.

5.    Nilai Keadilan
Nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia mengandung makna sebagai dasar sekaligus tujuan yaitu tercapainya masyarakat Indonesia Yang Adil dan Makmur secara lahiriah atauun batiniah. Nilai-nilai dasar itu sifatnya abstrak dan normatif. Karena sifatnya abstrak dan normatif, isinya belum dapat dioperasionalkan. Agar dapat bersifat operasional dan eksplisit, perlu dijabarkan ke dalam nilai instrumental. Contoh nilai instrumental tersebut adalah UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya.  Sebagai nilai dasar, nilai-nilai tersebut menjadi sumber nilai. Artinya, dengan bersumber pada kelima nilai dasar diatas dapat dibuat dan dijabarkan nilai-nilai instrumental penyelenggaraan negara Indonesia.






BAB III
DEMOKRASI

A.    Pengertian Demokrasi
Kata demokrasi berasal dari Athena,Yunani Kuno sekitar abad ke-5SM. Yunani merupakan salah satu negara yang ilmu pengetahuan dan peradabannya maju pada zamannya. Dari sinilah awal perkembangan tentang hukum demokrasi modern. Seiring berjalannya waktu hingga sekitar abad ke-18 terjadilah revolusi-revolusi termasuk perkembangan demokrasi di berbagai negara. Konsep demokrasi menjadi salah satu indikator perkembangan sistem politik sebuah negara. Prinsip Trias politica yang diterapkan oleh negara demokrasi menjadi sangat utama untuk memajukan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Fakta sejarah juga memberi bukti bahwa kekuasaan eksekutif yang terlalu besar tidak menjamin dalam pembentukan masyarakat yang adil dan beradab.
Demokrasi juga berasal dari bahasa Yunani yaitu "Demos" yang berarti rakyat dan kratos yang berarti kekuasaan. Secara umum demokrasi adalah kekuasaan yang berada ditangan rakyat (pemerintahan rakyat). Maksud dari pemerintahan rakyat adalah pemegang kekuasaan tertinggi dipenggang oleh rakyat. Jadi demokrasi adalah sebuah bentuk sistem pemerintahan dalam rangka mewujudkan kedaulatan rakyat yang dijalankan oleh pemerintah.
Suatu pemerintahan demokratis berbeda dengan bentuk pemerintahan yang kekuasaannya dipegang satu orang, seperti monarki, atau sekelompok kecil, seperti oligarki. Apapun itu, perbedaan-perbedaan yang berasal dari filosofi Yunani ini sekarang tampak ambigu karena beberapa pemerintahan kontemporer mencampur aduk elemen-elemen demokrasi, oligarki, dan monarki. Karl Popper mendefinisikan demokrasi sebagai sesuatu yang berbeda dengan kediktatoran atau tirani, sehingga berfokus pada kesempatan bagi rakyat untuk mengendalikan para pemimpinnya dan menggulingkan mereka tanpa perlu melakukan revolusi.
Ada beberapa jenis demokrasi, tetapi hanya ada dua bentuk dasar. Keduanya menjelaskan cara seluruh rakyat menjalankan keinginannya. Bentuk demokrasi yang pertama adalah demokrasi langsung, yaitu semua warga negara berpartisipasi langsung dan aktif dalam pengambilan keputusan pemerintahan. Di kebanyakan negara demokrasi modern, seluruh rakyat masih merupakan satu kekuasaan berdaulat namun kekuasaan politiknya dijalankan secara tidak langsung melalui perwakilan; ini disebut demokrasi perwakilan. Konsep demokrasi perwakilan muncul dari ide-ide dan institusi yang berkembang pada Abad Pertengahan Eropa, Era Pencerahan, dan Revolusi Amerika Serikat danPerancis.
B.     Demokrasi menurut para ahli.
Abraham Lincoln 
Demokrasi adalah sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Charles Costello 
Demokrasi adalah sistem sosial dan politik pemerintahan diri dengan kekuasaan-kekuasaan pemerintah yang dibatasi hukum dan kebiasaan untuk melindungi hak-hak perorangan warga negara.
John L. Esposito 
Demokrasi pada dasarnya adalah kekuasaan dari dan untuk rakyat. Oleh karenanya, semuanya berhak untuk berpartisipasi, baik terlibat aktif maupun mengontrol kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Selain itu, tentu saja lembaga resmi pemerintah terdapat pemisahan yang jelas antara unsur eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.

Hans Kelsen 
Demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat dan untuk rakyat. Yang melaksanakan kekuasaan Negara ialah wakil-wakil rakyat yang terpilih. Dimana rakyat telah yakin, bahwa segala kehendak dan kepentingannya akan diperhatikan di dalam melaksanakan kekuasaan Negara.
Sidney Hook 
Demokrasi adalah bentuk pemerintahan dimana keputusan-keputusan pemerintah yang penting secara langsung atau tidak didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat dewasa.
C.F. Strong 
Demokrasi adalah Suatu sistem pemerintahan di mana mayoritas anggota dewan dari masyarakat ikut serta dalam politik atas dasar sistem perwakilan yang menjamin pemerintah akhirnya mempertanggungjawabkan tindakan-tindakannya pada mayoritas tersebut.
Hannry B. Mayo 
Kebijaksanaan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana di mana terjadi kebebasan politik.
Merriem 
Demokrasi dapat didefinisikan sebagai pemerintahan oleh rakyat; khususnya, oleh mayoritas; pemerintahan di mana kekuasaan tertinggi tetap pada rakyat dan dilakukan oleh mereka baik langsung atau tidak langsung melalui sebuah sistem perwakilan yang biasanya dilakukan dengan cara mengadakan pemilu bebas yang diadakan secara periodik; rakyat umum khususnya untuk mengangkat sumber otoritas politik; tiadanya distingsi kelas atau privelese berdasarkan keturunan atau kesewenang-wenangan.
Samuel Huntington 
Demokrasi ada jika para pembuat keputusan kolektif yang paling kuat dalam sebuah sistem dipilih melalui suatu pemilihan umum yang adil, jujur dan berkala dan di dalam sistem itu para calon bebas bersaing untuk memperoleh suara dan hampir seluruh penduduk dewasa dapat memberikan suara.
1.      dilihat dari cara penyaluran aspirasi rakyat;
·         Demokrasi Langsung
Demokrasi langsung adalah sistem demokrasi yang memberikan kesempatan kepada seluruh warga negaranya dalam permusyawaratan saat menentukan arah kebijakan umum dari negara atau undang-undang. Bisa dikatakan demokrasi langsung adalah demokrasi yang bersih karena rakyat diberikan hak mutlak untuk memberikan aspirasinya.
·         Demokrasi Tidak Langsung
Demokrasi tidak langsung adalah sistem demokrasi yang dijalankan menggunakan sistem perwakilan.
2.      dilihat dari dasar yang dijadikan prioritas atau titik perhatian;
·         Demokrasi Material
·         Demokrasi Formal
·         Demokrasi Campuran



3.      dilihat dari prinsip ideologi;
·         Demokrasi Rakyat
Demokrasi rakyat (proletar) adalah sistem demokrasi yang tidak mengenal kelas sosial dalam kehidupan. Tidak ada pengakuan hak milik pribadi tanpa ada paksaan atau penindasan tetapi untuk mencapai masyarakat yang dicita-citakan tersebut dilakukan dengan cara kekerasan atau paksa atau dengan kata lain negara adalah alat untuk mencapai cita-cita kepentingan kolektif.  Demokrasi rakyat merupakan demokrasi yang berdasarkan paham marxisme atau komunisme.  
·         Demokrasi Konstitusional
Demokrasi konstitusional adalah demokrasi yang dilandaskan kebebasan setiap orang atau manusia sebagai makhluk sosial. Hobbe, Lockdan Rousseaue mengemukakan pemikirannya tentang negara demokrasi bahwa negara terbentuk disebabkan oleh benturan kepentingan hidup orang yang hidup bermasyarakat. Ini mengakibatkan terjadinya penindasan diantara mereka. Oleh sebab itu kumpulan orang tersebut membentuk komunitas yang dinamakan negara atas dasar kepentingan bersama. Akan tetapi fakta yang terjadi kemudian adalah munculnya kekuasaan berlebih atau otoriterianisme.
Hal inilah yang menjadi pemicu pemikiran baru yakni demokrasi liberal. Setiap individu dapat berpartisipasi melalui wakil yang dipilih melalui pemilihan sesuai ketentuan. Masyarakat harus dijaminan dalam hal kebebasan individual(politik, sosial, ekonomi, dan keagamaan).
4.      dilihat dari kewenangan dan hubungan antara alat kelengkapan negara;
·         Demokrasi Sistem Parlementer
Indonesia pernah menerapkan demokrasi parlementer yaitu pada tahun 1945-1959. Dalam sistem demokrasi parlementer, Indonesia memiliki kepala negara dan kepala pemerintahan sendiri. Selama periode ini konstitusi yang digunakan adalah Konstitusi RIS dan UUDS 1950. BAnyak kelebihan yang dirasakan ketika Indonesia menerapkan sistem demokrasi parlementer antara lain:
1. Parlemen menjalankan peran yang sangat baik
2. Akuntabilitas pemengang jabatan tinggi
3. Partai plitik diberi kebebasan dan peluang untuk berkembang
4. Hak dasar setiap individu tidak dikurangi
5. Pemilihan umum dilaksanakan benar-benar dengan prinsip demokrasi (Pemilu 1955)
6. Daerah diberikan otonomi dalam mengembangkan daerahnya sesuai dengan asas desentralisasi
Meskipun banyak sekali kelebihan yang dirasakan, demokrasi parlementer dianggap gagal karena beberapa alasan yang dikemukakan para ahli sebagai berikut:
1. Usulan Presiden (Konsepsi Presiden) tentang Pemerintahan yang berasaskan gotong-royong ( berbau komunisme)
2. Dewan Konstituante yang bertugas menyusun Undang-undang (konstitusi) mengalami kegagalan dalam merumuskan ideologi nasional.
3. Dominan sekali politik aliran yang memicu konflik
4. Kondisi ekonomi pasca kemerdekaan masih belum kuat.
·         Demokrasi Sistem Presidensial


D.    Perkembangan Demokrasi di Indonesia
Konstitusi Indonesia, UUD 1945, menjelaskan bahwa Indonesia adalah sebuah negara demokrasi. Presiden dalam menjalankan kepemimpinannya harus memberikan pertanggungjawaban kepada MPR sebagai wakil rakyat. Oleh karena itu secara hieraki rakyat adalah pemegang kekuasaan tertinggi melalui sistem perwakilan dengan cara pemilihan umum. Pada era Presiden Soekarno, Indonesia sempat menganut demokrasi terpimpin tahun 1956. Indonesia juga pernah menggunakan demokrasi semu (demokrasi pancasila) pada era  Presiden Soeherto hingga tahun 1998 ketika Era Soeharto digulingkan oleh gerakan mahasiswa. Gerakan mahasiswa yang telah memakan banyak sekali harta dan nyawa dibayar dengan senyum gembira dan rasa syukur ketika Presiden Soeharto mengumumkan "berhenti sebagai Presiden Indonesua" pada 21 Mei 1998. Setelah era Seoharto berakhir Indonesia kembali menjadi negara yang benar-benar demokratis mulai saat itu.  Pemilu demokratis yang diselenggarakan tahun 1999 dimenangkan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Pada tahun 2004 untuk pertama kali Bangsa Indonesia menyelenggarakan pemilihan umum presiden. Ini adalah sejarah baru dalam kehidupan demokrasi Indonesia.
Demokrasi di Indonesia ditandai dengan ciri sebagai berikut :
1.      Adanya keterlibatan warga negara (rakyat) dalam pengambilan keputusan politik, baik langsung maupun tidak langsung (perwakilan).
2.      Adanya pengakuan, penghargaan, dan perlindungan terhadap hak-hak asasi rakyat (warga negara).
3.      Adanya persamaan hak bagi seluruh warga negara dalam segala bidang.
4.      Adanya lembaga peradilan dan kekuasaan kehakiman yang independen sebagai alat penegakan hukum
5.      Adanya kebebasan dan kemerdekaan bagi seluruh warga negara.
6.      Adanya pers (media massa) yang bebas untuk menyampaikan informasi dan mengontrol perilaku dan kebijakan pemerintah.
7.      Adanya pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat yang duduk di lembaga perwakilan rakyat.
8.      Adanya pemilihan umum yang bebas, jujur, adil untuk menentukan (memilih) pemimpin negara dan pemerintahan serta anggota lembaga perwakilan rakyat.
9.      Adanya pengakuan terhadap perbedaan keragamaan (suku, agama, golongan, dan sebagainya).
E.     Pendidikan Bela Negara
Generasi penerus melalui pendidikan kewarganegaraan diharapkanakan mampu mengantisipasi hari depan yang senantiasa berubah dan selalu terkait dengan konteks dinamika budaya, bangsa, negara, dan hubungan internasional serta memiliki wawasan kesadaran bernegara untuk bela negara dan memiliki pola pikir, pola sikap dan perilaku yang cinta tanah air berdasarkan Pancasila. Semua itu diperlakukan demi tetap utuh dan tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tujuan utama pendidikan kewarganegaraan adalah untuk menumbuhkan wawasan dan kesadaran bernegara, sikap serta perilaku yang cinta tanah air, wawasan nusantara, serta ketahanan nasional dalam diri warga negara Republik Indonesia. Selain itu bertujuan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang berbudi luhur, berkepribadian, mandiri, maju, tangguh, cerdas, kreatif, terampil, berdisiplin, beretos kerja, profesional, bertanggung jawab, dan produktif serta sehat jasmani dan rohani.
Hak dan kewajiban warga negara, terutama kesadaran bela negara akan terwujud dalam sikap dan perilakunya bila ia dapat merasakan bahwa konsepsi demokrasi dan hak asasi manusia sungguh–sungguh merupakan sesuatu yang paling sesuai dengan kehidupannya sehari–hari. Pendidikan Kewarganegaraan yang berhasil akan membuahkan sikap mental yang cerdas, penuh rasa tanggung jawab dari peserta didik. Sikap ini disertai dengan perilaku yang :
1. Beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta menghayati nilai–nilai falsafah bangsa
2. Berbudi pekerti luhur, berdisiplin dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
3. Rasional, dinamis, dan sadar akanhak dan kewajiban sebagai warga negara.
4. Bersifat profesional yang dijiwai oleh kesadaran bela negara.
5. Aktif memanfaatkan ilmu pengetahuan teknologi dan seni untuk kepentingan kemanusiaan, bangsa dan negara.
Melalui Pendidikan Kewarganegaraan, warga negara Republik Indonesia diharapkan mampu “memahami, menganalisa, dan menjawab masalah–masalah yang dihadapi oleh masyarakat, bangsa dan negaranya secara konsisten dan berkesinambungan dengan cita–cita dan tujuan nasional seperti yang digariskan dalam Pembukaan UUD 1945 “.
Dalam perjuangan non fisik, harus tetap memegang teguh nilai–nilai ini disemua aspek kehidupan, khususnya untuk memerangi keterbelakangan, kemiskinan, kesenjangan sosial, korupsi, kolusi, dan nepotisme; menguasai IPTEK, meningkatkan kualitas sumber daya manusia agar memiliki daya saing; memelihara serta menjaga persatuan dan kesatuan bangsa; dan berpikir obyektif rasional serta mandiri.


F.     Pengertian Pendidikan Pendahuluan Bela Negara (PPBN)
Pembelaan negara atau bela negara adalah tekad, sikap dan tindakan warga negara yang teratur, menyeluruh, terpadu dan berlanjut yang dilandasi oleh kecintaan pada tanah air serta kesadaran hidup berbangsa dan bernegara. Wujud dari usaha bela negara adalah kesiapan dan kerelaan setiap warganegara untuk berkorban demi mempertahankan kemerdekaan kedaulatan negara, persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia, keutuhan wilayah Nusantara dan yuridiksi nasional serta nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.
Maksud dan Tujuan PPBN
}  Usaha pembelaan negara bertumpu pada kesadaran setiap warga negara akan hak dan kewajibannya.
}  Kesadaran demikian perlu ditumbuhkan melalui proses motivasi untuk mencintai tanah air dan untuk ikut serta dalam pembelaan negara.
}  Proses motivasi untuk membela negara dan bangsa akan berhasil jika setiap warga memahami keunggulan dan kelebihan negara dan bangsanya.
}  Di samping itu setiap warga negara hendaknya juga memahami kemungkinan segala macam ancaman terhadap eksistensi bangsa dan negara Indonesia.
Dalam hal ini ada beberapa dasar pemikiran yang dijadikan sebagai bahan motivasi setiap warganegara untuk ikut serta membela negara Indonesia :
}  Pengalaman sejarah perjuangan RI
}  Kedudukan wilayah geografis Nusantara yang strategis
}  Keadaan penduduk (demografis) yang besar
}  Kekayaan sumber daya alam
}  Perkembangan dan kemajuan IPTEK di bidang persenjataan
}  Kemungkinan timbulnya bencana perang.

Perkembangan Pendidikan Pendahuluan Bela Negara
1)      Situasi NKRI Terbagi dalam Periode-periode
a.         Tahun 1945 sejak NKRI diproklamasikan sampai tahun 1965 disebut periode lama atau Orde Lama
b.         Tahun 1965 sampai tahun 1998 disebut periode baru atau Orde Baru.
Tahun 1998 sampai sekarang disebut periode Reformasi.
2)      Pada Periode Lama Bentuk Ancaman yang Dihadapi adalah Ancaman Fisik
Contoh : adanya PPPR (Pendidikan Pendahuluan Perlawanan Rakyat), OPR (Organisasi Perlawanan Rakyat), OKD (Organisasi Keamanan Desa), OKS (Organisasi Keamanan Sekolah). Dilihat dari kepentingannya, tentunya pola pendidikan yang diselenggarakan akan terarah pada fisik, teknik, taktik dan strategi kemiliteran.
3)      Periode Orde Baru dan Periode Reformasi
Ancaman yang dihadapi dalam periode-periode ini berupa tantangan nonfisik dan gejolak sosial. Untuk mewujudkan bela negara dalam berbagai aspek kehidupan, pertama-tama perlu dibuat rumusan tujuan bela negara.
G.    Hak Asasi Manusia
Hak asasi manusia (HAM) adalah kebenaran yang mendasar yang dititipkan Tuhan pada diri manusia agar dapat menjalani hidupnya dengan baik dan terhormat. HAM muncul dilatarbelakangi oleh adanya hal berikut ini :
1.      Piagam Magna Charta Inggris 1215 M
2.      Deklarasi Universal HAM 10 Desember 1948
Ada beberapa karakteristik dari HAM, yaitu :
1.      QODRAT dimana HAM adalah anugerah dari Tuhan untuk setiap manusia agar hidupnya tetap   terhormat.
2.      HAKIKI         dimana HAM melekat pada setiap manusia, tanpa memandang latar belakang kehidupannya.
3.      UNIVERSAL dimana HAM itu berlaku umum
4.      TIDAK BOLEH DICABUT dimana Dalam keadaan bagaimanapun, HAM setiap orang tetap ada.
5.      TIDAK DAPAT DIBAGI dimana HAM itu tidak dapat diwakili, dialihkan ataupun dipisah-pisah.
HAM juga memiliki beberapa kandungan nilai di dalamnya, antara lain :
1.      KEBEBASAN/ KEMERDEKAAN
Manusia dilahirkan dalam keadaan merdeka, diharapkan juga merdeka dalam menjalani hidupnya, misalnya merdeka memilih negara, tempat tinggal, bergerak, berkeluarga, berkumpul, berserikat, mendapatkan pekerjaan, dll. Demokrasi termasuk bagian dari nilai kebebasan.
2.      KEMANUSIAAN/PERDAMAIAN
Manusia dalam menjalani kehidupannya juga mendambakan ketentraman, bebas dari rasa takut, terjamin keamanannya dan senantiasa dalam suasana damai.
3.      KEADILAN/ KESEDERAJATAN/             PERSAMAAN
Diperlakukan secara wajar dan adil, tidak membeda-bedakan dengan alasan apapun, tanpa diskriminasi serta mendapatkan kesempatan yang sama dalam menjalani kehidupannya adalah bagian dari nilai-nilai dasar HAM.
HAM di Indonesia dibatasi oleh Aturan Per-UU-an. Bangsa Indonesia mempunyai jati diri yang khas Indonesia, karena itu HAM-nya juga bersifat spesifik. Misalnya soal kebebasan/ kemerdekaan. Kebebasan yang ada di Amerika/ Eropa tidak sama dengan yang ada di Indonesia. HAM di Indonesia tetap dibatasi oleh Aturan Perundang-undangan serta dikontrol oleh nilai agama dan budaya. Pertentangan antara prinsip universalitas dengan nilai relativisme budaya seringkali sulit dielakkan.
Ada beberapa prinsip HAM, yaitu :
  1. HAM adalah konsep etika
  2. HAM menyatu dalam seluruh aspek kehidupan
  3. HAM berlaku universal
  4. HAM tak terpisahkan dengan kewajiban asasi
  5. HAM menjadi program internasional
  6. HAM berkembang sangat dinamis
Sedangkan yang menjadi nilai utama HAM adalah :
1.      KEMERDEKAAN
2.      PERDAMAIAN
3.      KESEDERAJATAN
4.      KEADILAN
Ada 6 prinsip pokok HAM yaitu :
  1. Tidak bisa dibagi (indivisibility)
  2. Saling bergantung dan berkaitan (interdependence and interrelation)
  3. Universal dan tidak dapat dicabut (universality and inalienability)
  4. Kesetaraan dan non diskriminasi (equality and non-discrimination)
  5. Partisipasi dan kontribusi (participation and contribution)
  6. Tanggung jawab Negara dan penegakan Hukum (state responsibility and rule of law)
Subjek Hak Asasi Manusia (HAM) adalah Pemegang Hak (Rights Holder).                                              Pemegang hak adalah manusia sebagai individu maupun kelompok yang memiliki hak, yang wajib dihormati, dilindungi dan dipenuhi oleh Negara. Pemangku kewajiban dalam pelaksanaan HAM adalah Negara.
Pelanggaran Hak Asasi Manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk Aparat Negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum, mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut Hak Asasi Manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang ini, dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku (Pasal 1 Ayat 6 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia). Selain itu, bentuk pelanggaran HAM lainnya adalah memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok, atau memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain (Pasal 8 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia). Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang atau melanggar asas-asas ketentuan pokok Hukum Internasional. Penyiksaan, perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara. Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, Ras, Kebangsaan,Etnis, Budaya, Agama, Jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut Hukum Internasional. Penganiayaan orang secara paksa atau Kejahatan Apartheid (Pasal 9 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia).
Di Indonesia sudah ada beberapa instrumen HAM nasional yaitu :
1.      Undang-Undang Dasar 1945
2.      TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM
3.      UU No. 3 Tahun 1977 tentang Peradilan Anak
4.      UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
5.      UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
6.      UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum
7.      UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM
8.      UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
HAM dalam UUD 1945 mencakup :
1.      Pembukaan UUD 1945 pada Alinea I
            Bahwa sesungguhnya kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
2.      Batang Tubuh UUD 1945 pada Pasal 27, 28, 29, 30, 31 dan 34.
Hak asasi manusia (HAM)  yang tidak dapat dikurangi adalah sebagai berikut :
-          Hak Hidup
-          Hak untuk tidak disiksa
-          Hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani
-          Hak beragama
-          Hak untuk tidak diperbudak
-          Hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum
-          Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut (adalah HAM yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun, Pasal 4 UU No. 39 Tahun 1999).











BAB IV
NORMA KEHIDUPAN KEWARGANEGARAAN INDONESIA
A.           Kewarganegaraan Indonesia
Kewarganegaraan Republik Indonesia menurut Undang-Undang No. 12 Tahun2006 tentang Kewarganegaraan Republik IndonesiaUndang-Undang No. 12 Tahun 2006 berlaku sejak diundangkan tanggal1 Agustus 2006. UU ini untuk menggantikan undang-undang kewarganegaraanyang lama, yakni UU No. 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan RI. Dasarpertimbangan (konsideran) UU ini adalah, sebagaimana telah diubah denganUU No. 3 Tahun 1976 tentang Perubahan Pasal 18 UU No. 62 Tahun 1958tentang Kewarganegaran R I sudah tidak sesuai lagi dengan perkemabanganketatanegaraan RI, sehingga harus dicabut dan diganti dengan yang baru.Undang-Undang No. 62 tahun 1958 secara filosofis, yuridis dan sosiologis sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat dan ketatanegaran RI. Secara filosofis, undang-undang masih mengandung ketentuan-ketentuan yang tidak sejalan dengan falsafah Pancasila, antara lain, karena masih adanya sifat diskriminatif, kurang menjamin pemenuhan hak asasimanusia dan persamaan antar warganegara, serta kurang memberikan perlindungan terhadap perempuan dan anak-anak.
Secara yuridis, landasan konstitusional pembentukan undang-undang tersebut adalah UUDS tahun 1950 sudah tidak berlaku lagi sejak diberlakukan Dekrit Presiden tanggal 5 juli 1959 yangmenyatakan kembali ke UUD 1945. Dalam perkembangannya UUD 1945 telahmengalami perubahan yang lebih menjamin perlindungan terhadap hak-hakasasi manusia dan hak warganegara. Secara sosiologis, Undang-undang ini sudah tak sesuai lagi dengan perkembangan dan tuntutan masyarakat Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional dalam pergaulan global, yang menghendaki adanya persamaan perlakuan dan kedudukan warganegara dihadapan hukum serta adanya kesetaraan gender.
Istilah kewarganegaraan menurut ketentuan UU No. 12 Tahun 2006 adalah segala ikhwal yang berhubungan dengan warga negara (pasal 1). Oleh karenakewarganegaraan adalah segala ikhwal yang berhubungan dengan kewarganegaraan, maka kewarganegaraan mencakup hal-hal, antara lain
• penentuan tentang siapa saja yang termasuk warga negara,
• cara menjadi warga negara atau pewarganegaraan
• tentang kehilangan kewarganegaraan
• tentang cara memperoleh kembali kewarganegaraan yang hilang.
Adapun ketentuan pokok yang diatur dalam UU No. 12 Tahun 2006, adalah sebagai berikut:
• Tentang siapa yang menjadi warga negara Indonesia
• Tentang syarat dan tata cara memperoleh kewarganegaraan RI
• Tantang kehilangan Kewarganegaraan RI
• Tentang syarat dan tata cara memperoleh kembalai Kewarganegaraan RI
• Tentang ketentuan pidana.
Secara umum dalam undang-undang dinyatakan bahwa menjadi WNI adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warganegara (pasal 2). Yang dimaksud dengan orang-orang bangsa Indonesia asli, adalah orang Indonesia yang menjadi warganegara Negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendaknya sendiri. Rumusan tentang bangsa Indonesia asli sebagaimana di atas merupakan pengertian yuridis. Dengan demikian istilah bangsa Indonesia asli bukan diartikan dalam pengertian sosiologis antropologis. Sedang warganegara Indonesia yang merupakan orang-orang bangsa lain adalah mereka yang memperolehkewarganegaraan Indonesia melalui pewarganegaraan berdasarkan peraturanperundangan yang berlaku.
Sedangkan isi dari UU No. 12 Tahun 2006, adalah sebagai berikut:
• Tentang siapa warga negara Indonesia, dinyatakan bahwa yang menjadi warga negara Indonesia termaktub didalam pasal 4.
• Tentang cara memperoleh Kewarganegaraan RI, menurut undang-undang ini dapat dilakukan dengan:
1.      permohonan (pasal 8-9)
2.      pernyataan (pasal 19)
3.      pemberian kewarganegaraan (pasal 20)
4.      Melaui pernyaratan untuk memilih kewarganegaan.
Asas-asas yang digunakan dalam UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Indonesia, adalah sebagai berikut:
1.      asas ius sanguinis (law of the blood).
2.      asas ius soli (law of the soil)
Asas kewarganegaraan tunggal, yaitu asas yang mentukan satu kewarganegaraan bagi setiap orang, sementara asas kewarganegaraan ganda terbatas, yaitu asas yang menetukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini.
Selain itu masih ada, beberapa asas kewarganegaraan yang bersifat khusus, yang juga menjadi dasar penyusunan undang-undang Kewarganegaraan Indonesia, yaitu:
• Asas kepentingan nasional, adalah asas yang menentukan bahwa peraturan kewarganegaraan mengutamakan kepentingan nasional Indonesia, yang bertekad mempertahankan kedaulatan sebagai negara kesatuan yang memiliki cita-cita dan tujuannya sendiri.
• Asas perlindungan maksimum, adalah asas yang menentukan bahwaPemerintahwajib memberikan perlindungan penuh kepada setiap WNI dalam kedaan apapun, baik di dalam maupun diluar negeri.
• Asas persamaan di dalam hukum dan pemerintahan, adalah asas yangmenentukan bahwa setiap WNI mendapatkan perlakuan yang sama didalam hukum dan pemerintahan.
• Asas kebebasan substantif, adalah prosedur pewarganegaraan seseorang tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga disertai subsatnsidan syarat-syarat permohonan yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
• Asas nondiskriminstif,adalah asas yang tidak membedakan perlakuan-perlakuan dalam segala hal ikwal yang berhubungan dengan wargawarganegara atas dasar suku, agama, ras, golongan, jenis kelamindan gender.
• Asas pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia, adalah asas yang dalam segala ikhwal yang berhubungan dengan warga negara harus menjamin, melindungi, dan memuliakan hak asasimanusia pada umumnya dan warganegara pada khususnya.
• Asas keterbukaan, adalah asas yang menentukan bahwa dalam segalahal ikhwal yang berhubungan dengan warga negara harus dilakukansecara terbuka.
• Asas publisitas, adalah asas yang menentukan bahwa seseorangyang memperoleh atau kehilangan Kewarganegaraan RI diumumkan dalam Berita Negara RI agar masyarakat mengetahuinya.
B.            Hak dan Kewajiban Warga Negara
1. Hak Warga Negara Indonesia :
-   Hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak : “Tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” (pasal 27 ayat 2).
-   Hak untuk hidup dan mempertahankan kehidupan: “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.”(pasal 28A).
-   Hak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah (pasal 28B ayat 1).
-   Hak atas kelangsungan hidup. “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan Berkembang”
-   Hak untuk mengembangkan diri dan melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya dan berhak mendapat pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya demi kesejahteraan hidup manusia. (pasal 28C ayat 1)
-   Hak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya. (pasal 28C ayat 2).
-   Hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di depan hukum.(pasal 28D ayat 1).
-   Hak untuk mempunyai hak milik pribadi Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani,hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. (pasal 28I ayat 1).
2. Kewajiban Warga Negara Indonesia  :
-   Wajib menaati hukum dan pemerintahan. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 berbunyi : segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
-   Wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara. Pasal 27 ayat (3) UUD 1945 menyatakan  : setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara”.
-   Wajib menghormati hak asasi manusia orang lain. Pasal 28J ayat 1 mengatakan : Setiap orang wajib menghormati hak asai manusia orang lain
-   Wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang. Pasal 28J ayat 2 menyatakan : “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya,setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”
-   Wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara. Pasal 30 ayat (1) UUD 1945. menyatakan: “tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.”
C.   Pluralisme Masyarakat Indonesia
Pluralisme menurut katanya berasal dari bahasa Inggris, pluralisme apabila menunjuk dari Wikipedia bahasa Inggris, maka definisi (eng) pluralism adalah: “in the social science, pluralism is a framework of in teraction which groups show sufficient respect and tolerance of each other, that they fruitfully coexist and interact without conflict or as simulation”. Atau dalam bahasa Indonesia: “Sesuatu kerangka interaksi yang mana setiap kelompok menampilkan rasa hormat dan toleran satu sama lain, berinteraksi tanpa konflik atau asimilasi (pembaharuan atau pembiasaan).
Saat ini pluralisme menjadi polemik di Indonesia karena perbedaan mendasar antara pluralisme dengan pengertian awalnya yaitu pluralis sehingga memilki arti: Pluralisme diliputi semangat religious, bukan hanya soal kultural, yang digunakan sebagai alasan pencampuran anatara ajaran agama, sebagai merubah ajaran suatu agama agar sesuai ajaran agama lain. Jika melihat kepada ide dan konteks konotasi yang berkembang, jelas bahwa pluralisme di Indonesia tidaklah sama dengan pluralisme sebagai pengertian dalam bahasa Inggris. Dan tidaklah aneh jika kondisi ini memancing timbulnya reaksi dari berbagai pihak. Pertentangan yang menjadi semakin membingungkan karena munculnya kerancuan bahasa. Sebagaimana seorang mengucapkan pluralisme dalam kata non asimilasi akan bingung jika bertemu dengan kata pluralisme dalam ani asimilasi, sudah semestinya munculnya pluralisme pendapat agar tidak timbulnya kerancuan.
Pluralisme agama sebagai objek persoalan yang ditanggapi dalam arti suatu paham yang mengajar bahwa semua agama adalah sama dan karenannya kebenaran setiap agama adalah relative, oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain adalah salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk daan berdampingan di surga. Bagi mereka yang mendefinisikan pluralism-non asimilasi, hal ini disalah paham sebagai pelarangan terhadap pemahaman mereka dianggap sebagai suatu kemunduran kehidupan berbangsa keseragaman memang bukan suatu pilihan yang baik bagi masyarakat yang terdiri atas berbagai suku, bermacam ras, agama dan sebagainya. Sementara di sisi lain  bagi penganut definisi pluralisme asimilasi, pelarangan ini berarti pukulan bagi ide yang mereka kembangkan. Ide mereka untuk mencampurkan ajaran yang berbeda menjadi tertahan perkembangannya.
Pluralisme adalah sebuah kerangkan dimana ada interkasi beberapa kelompok-kelompok yang menunjukkkan rasa saling menghormati dan toleransi satu sama lain. Mereka hidup bersama (koeksistesnsi) serta membuahkan hasil tanpa konflik asimilasi. Pluralisme dapat dikatakan salah satu ciri khas masyarakat modern dan kelompok social yang penting, dan mungkin merupakan pengemudi utama kemajuan dalam ilmu pengetahuan, masyarakat dan perkembangan ekonomi. Dalam sebuah masyarakat otoriter atau oligarkis, ada konsentrasi kekuasaan politik dan keputusan dibuat oleh hanya sedikit anggota. Sebaliknya, dalam masyarakat pluralistis, kekuasaan dan penentuan keputusan (dan kemilikan kekuasaan) lebih tersebar.
Dipercayai bahwa hal ini menghasilkan partisipasi yang lebih luas dan komitmen dari anggota masyarakat, dan oleh karena itu hasil yang lebih baik. Contoh kelompok-kelompok dan situasi-situasi di mana pluralisme adalah penting ialah: perusahaan, badan-badan politik dan ekonomi, perhimpunan ilmiah. Bisa diargumentasikan bahwa sifat pluralisme proses ilmiah adalah factor utama dalam pertumbuhan pesat ilmu pengetahuan. Pada gilirannya, pertumbuhan pengetahuan dapat dikatakan menyebabkan kesejahteraan manusiawi bertambah karena, misalnya lebih besar kinerja dan pertumbuhan ekonomi dan lebih baiklah teknologi kedokteran. Pluralisme juga menunjukkan hak-hak individu dalam memutuskan kebenaran universal masing-masing.
D.           Persatuan dan Kesatuan Indonesia
Persatuan dan kesatuan berasal dari kata satu yang berarti utuh atau tidak terpecah-belah. Persatuan dan kesatuan mengandung arti “bersatunya macam-macam corak yang beraneka ragam menjadi satu kebulatan yang utuh dan serasi.” Di Indonesia persatuan dan kesatuan mengandung dua pengertian, yaitu pengertian dari segi geografis dan dari segi bangsa. Dari segi geografis, Indonesia berarti bagian bumi yang membentang dari 95° sampai 141° Bujur Timur dan 6° Lintang Utara sampai 11o Lintang Selatan atau wilayah yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Indonesia dalam arti luas adalah seluruh rakyat yang merasa senasib dan sepenanggungan yang bermukim di dalam wilayah itu. Persatuan dan kesatuan Bangsa Indonesia berarti persatuan bangsa yang mendiami wilayah Indonesia. Persatuan itu didorong untuk mencapai kehidupan yang bebas dalam wadah negara yang merdeka dan berdaulat.
1.             Makna dan Pentingnya Persatuan Dan Kesatuan Bangsa
         Kesatuan bangsa Indonesia yang kita rasakan saat ini terjadi dalam proses yang dinamis dan berlangsung lama, karena persatuan dan kesatuan bangsa terbentuk dari proses yang tumbuh dari unsur-unsur sosial budaya masyarakat Indonesia sendiri, yang ditempa dalam jangkauan waktu yang lama sekali. Unsur-unsur sosial budaya itu antara lain seperti sifat kekeluargaan dan jiwa gotong-royong. Kedua unsur itu merupakan sifat-sifat pokok bangsa Indonesia yang dituntun oleh asas kemanusiaan dan kebudayaan. Karena masuknya kebudayaan dari luar, maka terjadi proses akulturasi (percampuran kebudayaan). Kebudayaan dari luar itu adalah kebudayaan Hindu, Islam, Kristen dan unsur-unsur kebudayaan lain yang beraneka ragam. Semua unsur-unsur kebudayaan dari luar yang masuk diseleksi oleh bangsa Indonesia. Kemudian sifat-sifat lain terlihat dalam setiap pengambilan keputusan yang menyangkut kehidupan bersama yang senantiasa dilakukan dengan jalan musyawarah dan mufakat. Hal itulah yang mendorong terwujudnya persatuan bangsa Indonesia. Jadi makna dan pentingnya persatuan dan kesatuan bangsa dapat mewujudkan sifat kekeluargaan, jiwa gotong-royong, musyawarah dan lain sebagainya.
Tahap-tahap pembinaan persatuan bangsa Indonesia itu yang paling menonjol ialah sebagai berikut:
a.       Perasaan senasib.
b.      Kebangkitan Nasional
c.       Sumpah Pemuda
d.      Proklamasi Kemerdekaan

2.             Prinsip-Prinsip Persatuan Dan Kesatuan Bangsa
Hal-hal yang berhubungan dengan arti dan makna persatuan Indonesia apabila dikaji lebih jauh, terdapat beberapa prinsip yang juga harus kita hayati serta kita pahami lalu kita amalkan. Prinsip-prinsip itu adalah
  a. Prinsip Bhineka Tunggal Ika
Prinsip ini mengharuskan kita mengakui bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang terdiri dari berbagai suku, bahasa, agama dan adat kebiasaan yang majemuk. Hal ini mewajibkan kita bersatu sebagai bangsa Indonesia.
  b. Prinsip Nasionalisme Indonesia
Kita mencintai bangsa kita, tidak berarti bahwa kita mengagung-agungkan bangsa kita sendiri. Nasionalisme Indonesia tidak berarti bahwa kita merasa lebih unggul daripada bangsa lain. Kita tidak ingin memaksakan kehendak kita kepada bangsa lain, sebab pandangan semacam ini hanya mencelakakan kita. Selain tidak realistis, sikap seperti itu juga bertentangan dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang adil dan beradab.
   c.Prinsip Kebebasan yang Bertanggungjawab
Manusia Indonesia adalah makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Ia memiliki kebebasan dan tanggung jawab tertentu terhadap dirinya, terhadap sesamanya dan dalam hubungannya dengan Tuhan Yang maha Esa.
 d. Prinsip Wawasan Nusantara
Dengan wawasan itu, kedudukan manusia Indonesia ditempatkan dalam kerangka kesatuan politik, sosial, budaya, ekonomi, serta pertahanan keamanan. Dengan wawasan itu manusia Indonesia merasa satu, senasib sepenanggungan, sebangsa dan setanah air, serta mempunyai satu tekad dalam mencapai cita-cita pembangunan nasional.
e. Prinsip Persatuan Pembangunan untuk Mewujudkan Cita-cita   Reformasi
Dengan semangat persatuan Indonesia kita harus dapat mengisi kemerdekaan serta melanjutkan pembangunan menuju masyarakat yang adil dan makmur
3. Pengamalan Nilai-nilai Persatuan dan Kesatuan
Pengamalan Nilai-nilai Persatuan dan Kesatuan antara lain :
a.         Mempertahankan Persatuan dan Kesatuan Wilayah Indonesia. Pepatah mengatakan “bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh”. Oleh karena itu yang perlu kita tegakkan dan lakukan adalah:
b.       meningkatkan semangat kekeluargaan, gotong-royong dan musyawarah; meningkatkan kualitas hidup bangsa Indonesia dalam berbagai aspek kehidupan
c.       pembangunan yang merata serta berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia;
d.      memberikan otonomi daerah;
e.        memperkuat sendi-sendi hukum nasional serta adanya kepastian hokum
f.         perlindungan, jaminan serta menjunjung tinggi hak asasi manusia; dan
g.      memperkuat sistem pertahanan dan keamanan sehingga masyarakat merasa terlindungi.
h.      Meningkatkan semangat Bhinneka Tunggal Ika.
i.        Mengembangkan semangat kekeluargaan.Yang perlu kita lakukan setiap hari usahakan atau “budayakan saling bertegur sapa.”
j.        Menghindari penonjolan sara/perbedaan. Karena bangsa Indonesia terdiri dari berbagai macam suku, bahasa, agama serta adat-istiadat kebiasaan yang berbeda-beda, maka kita tidak boleh melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan perpecahan.
BAB V
PERGAULAN DAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL
A.           Pergaulan dan Tanggung Jawab Sosial
Manusia bertanggungjawab terhadap tindakan mereka. Manusia menanggung akibat dari perbuatannya dan mengukurnya pada berbagai norma. Di antaranya adalah nurani sendiri, standar nilai setiap pribadi. Norma-norma nilai ini dapat dibentuk dengan berbagai macam cara. Kehidupan bersama antar manusia membentuk norma selanjutnya, yakni aturan-aturan, hukum-hukum yang dibutuhkan suatu masyarakat tertentu. Dalam negara-negara modern aturan-aturan atau hukum-hukum tersebut termaktub dalam sebuah sistem hukum dan sama bagi semua warga. Apabila aturan-aturan ini dilanggar yang bersangkutan harus memperoleh hukuman atau sanksi. Jika ia misalnya merugikan hak milik orang lain maka ia menurut Kitab Hukum Federal Jerman wajib mengganti kerugian yang ditimbulkan. Pengadilan dapat menghukum sikap yang bersalah (pelanggaran) berdasarkan KUHP.
Pada hakikatnya hanya masing-masing individu yang dapat bertanggungjawab. Hanya mereka yang memikul akibat dari perbuatan mereka. Suatu masyarakat yang tidak mengakui bahwa setiap individu mempunyai nilainya sendiri yang berhak diikutinya tidak mampu menghargai martabat individu tersebut dan tidak mampu mengenali hakikat kebebasan. Semua bentuk dari apa yang disebut dengan tanggungjawab kolektif mengacu pada tanggungjawab individu. Istilah tanggungjawab bersama umumnya hanyalah digunakan untuk menutup-nutupi tanggungjawab itu sendiri.
Kebebasan dan tanggungjawab tidak dapat dipisahkan. Orang yang dapat bertanggungjawab terhadap tindakannya dan mempertanggungjawabkan perbuatannya hanyalah orang yang mengambil keputusan dan bertindak tanpa tekanan dari pihak manapun atau secara bebas. Liberalisme menghendaki satu bentuk kehidupan bersama yang memungkinkan manusianya untuk membuat keputusan sendiri tentang hidup mereka. Karena itu bagi suatu masyarakat liberal hal yang mendasar adalah bahwa setiap individu harus mengambilalih tanggungjawab. Ini merupakan kebalikan dari konsep sosialis yang mendelegasikan tanggungjawab dalam ukuran seperlunya kepada masyarakat atau negara. Kebebasan berarti tanggungjawab; Itulah sebabnya mengapa kebanyakan manusia takut terhadapnya.
B.            Kepentingan Umum (Nasional)
Tokoh yang menjelaskan konsep kepentingan nasional pertama kali yaitu Hans Morgenthau dengan pendekatan realisnya (Hyndman, 1970/1971 : 7). Para penganut realis menyamakan kepentingan nasional atau kepentingan umum sebagai upaya untuk mengejar power, dimana power adalah segala sesuatu yang dapat mengembangkan dan memelihara kontrol suatu negara terhadap negara lain. Hubungan kekuasaan atau pengendalian ini dapat melalui teknik pemaksaan atau kerjasama. Karena itu kekuasaan dan kepentingan nasional dianggap sebagai sarana dan sekaligus tujuan dari tindakan suatu negara untuk bertahan hidup (survival) dalam politik internasional (Perwita & Yani, 2006 : 35).
            Pengertian kepentingan nasional dapat dijelaskan dalam dua aspek. Pertama, kepentingan nasional adalah kebaikan bersama bagi masyarakat. Definisi ini melihat masyarakat sebagai sebuah komunitas, dengan hubungan yang saling menghormati, menghargai, serta mengikat anggotanya secara bersama-sama. Dengan kata lain, kepentingan nasional pada aspek ini dilihat secara umum. Yaitu sebagai ungkapan untuk kebaikan bersama bagi masyarakat. Kedua, kepentingan nasional merujuk pada prinsip berdiplomasi yang mengedepankan kebaikan bersama dari masyarakat dalam hubungannya dengan unit nasional lainnya sebagai tujuan akhir dari aksi diplomasi. Dalam hal ini kepentingan nasional merupakan tujuan negara yang ingin mempertahankan atau menambah kekuasaannya (Clinton, 1986 : 497-500).
            Kepentingan nasional juga dapat dijelaskan sebagai tujuan fundamental dan faktor penentu akhir yang mengarahkan para pembuat keputusan dari suatu negara dalam merumuskan kebijakan luar negerinya (Perwita & Yani, 2006 : 35). Maka dari itu, kepentingan nasional sangat erat kaitannya dengan foreign policy atau kebijakan luar negeri. Kebijakan luar negeri merupakan strategi atau rencana tindakan yang dibuat oleh para pembuat keputusan negara dalam menghadapi negara lain atau unit politik internasional lainnya, dan dikendalikan untuk mencapai tujuan nasional spesifik yang dituangkan dalam terminologi kepentingan nasional. Kebijakan luar negeri bertujuan untuk mencapai kepentinghan nasional masyarakat (Perwita & Yani, 2006 : 49). Dengan kata lain, kebijakan luar negeri merupakan suatu alat untuk mencapai kepentingan nasional suatu negara.
            Dalam menjalankannya, kepentingan nasional harus dilandasi dengan rasionalitas dan moralitas. Jika pelaksanaan kepentingan nasional hanya dilandasi oleh rasionalitas, suatu kepentingan nasional bisa saja tidak bermoral karena rasionalitas mengacu pada preferensi aktor itu sendiri. Moralitas dapat menjawab hal ini. Dengan dilaksanakannya national interest with morality, kepentingan nasional akan dijalankan sesuai dengan moral-moral yang berlaku dalam masyarakat (Oppenheim, 1987 : 371-3). Misalnya pemerintahan yang bersifat diktator. Menurut pemerintah, kediktatoran merupakan hal yang rasional karena dengan sistem tersebut, pemerintah dapat dengan mudah mengatur negara. Namun, kediktatoran melanggar moral seperti hak asasi manusia.
            Menurut Nuechterlein, ada empat kepentingan dasar yang memotivasi suatu negara untuk menjalankan kepentingan nasional, yaitu: (1) kepentingan pertahanan; (2) kepentingan ekonomi; (3) kepentingan tatanan dunia; (4) kepentingan ideologi. Kepentingan pertahanan yaitu kepentingan suatu negara untuk melindungi bangsa-negara dan penduduk dari ancaman kekerasan fisik oleh negara lain. Kepentingan ekonomi yaitu kepentingan suatu negara untuk meningkatkan ekonomi negaranya dengan menumbuhkan relasi atau kerjasama dengan negara lain. Kepentingan tatanan dunia yaitu kepentingan untuk mempertahankan politik internasional dan sistem ekonomi dimana suatu bangsa-negara merasa aman dan dimana penduduk bisa beroperasi secara damai di luar negaranya. Kepentingan ideologi adalah kepentingan negara untuk melindungi nilai-nilai ideologi negaranya dari ancaman ideologi negara lain (Williams, 2012 : 33). Karena adanya desakan dari empat aspek tersebut, negara kemudian termotivasi untuk survive dalam politik internasional. Maka dari itu, kemudian negara menjalankan kepentingan nasionalnya. Kepentingan-kepentingan ini selanjutnya dapat ditinjau dengan dimensi atau sudut pandang dari kepentingan nasional.
            Dimensi atau sudut pandang dari kepentingan nasional terbagi menjadi basic  (kepentingan vital) dan secondary interest (kepentingan sekunder). Pertama, kepentingan vital merupakan kepentingan yang sangat tinggi nilainya sehingga suatu negara bersedia untuk berperang dalam mencapainya. Contohnya yaitu melindungi daerah-daerah wilayahnya, menjaga dan melestarikan nilai-nilai hidup yang dianut suatu negara. Kedua, kepentingan sekunder meliputi segala macam keinginan yang hendak dicapai masing-masing negara, namun mereka tidak bersedia berperang dimana masih terdapat kemungkinan lain untuk mencapainya. Misalnya dengan jalan perundingan (Perwita & Yani, 2006 : 52).
C.           Peraturan Perundangan Mengenai Kepentingan Umum
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepentingan umum telah banyak diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, yang rumusannya berbeda satu sama lain, Diantaranya seperti yang terdapat dalam: Undang-undang Nomor 20 Tahun 1961 Tentang Pencabutan Hak-hak Atas Tanah dan Benda-benda Yang Ada di atasnya; Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 1973 Tentang Pelaksanaan Pencabutan Hak-hak Atas Tanah dan Benda-benda Yang Ada di Atasnya; Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum; Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk kepentingan Umum; Peraturan Presiden  Nomor 65 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk kepentingan Umum.
Peraturan perundang-undangan tersebut diatas juga menyebutkan secara rinci kriteria jenis kegiatan apa saja yang termasuk kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum, yang juga berbeda pada setiap peraturan tersebut. Pengertian kepentingan umum sebagaimana dijelaskan dalam beberapa peraturan perundang-undangan di atas masih sangat luas, karena tidak memberikan suatu batasan makna yang tegas, sehingga sangat sulit untuk menentukan kriteria jenis kegiatan apa saja yang termasuk kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum. Menurut peneliti, kepentingan umum adalah kepentingan yang langsung berhubungan dengan hajat hidup orang banyak, oleh sebab itu dalam menentukan kriteria kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum harus dibatasi dengan tiga batasan yaitu, bahwa kegiatan dilakukan dan selanjutnya dimiliki pemerintah serta tidak digunakan untuk mencari keuntungan.
Negara memiliki legitimasi untuk melakukan pencabutan hak milik atas tanah yang dimiliki oleh masyarakat untuk kepentingan umum berdasar pasal Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945, hak milik atas tanah yang sudah dicabut selanjutnya dikuasai oleh negara. Berdasar pasal 2 UUPA dan pejelasannya, menurut konsep UUPA, pengertian “dikuasai” oleh Negara bukan berarti “dimiliki”, melainkan hak yang memberi wewenang kepada Negara untuk: Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaannya; Menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas (bagian dari) bumi, air, dan ruang angkasa itu; Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa. Artinya, dikuasainya bumi (tanah), air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya oleh Negara, semata-mata dimaksudkan agar dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.











BAB VI
HUBUNGAN KERJASAMA ANTAR BANGSA

A.      Pengertian Kerjasama
Kerjasama merupakan salah satu fitrah manusia sebagai mahluk sosial. Kerjasama memiliki dimensi yang sangat luas dalam kehidupan manusia, baik terkait tujuan positif maupun negatif. Dalam hal apa, bagaimana, kapan dan di mana seseorang harus bekerjasama dengan orang lain tergantung pada kompleksitas dan tingkat kemajuan peradaban orang tersebut. Semakin modern seseorang, maka ia akan semakin banyak bekerjasama dengan orang lain, bahkan seakan tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu tentunya dengan bantuan perangkat teknologi yang modern pula. Bentuk kerjasama dapat dijumpai pada semua kelompok orang dan usia. Sejak masa kanak-kanak, kebiasaan bekerjasama sudah diajarkan di dalam kehidupan keluarga. Setelah dewasa, kerjasama akan semakin berkembang dengan banyak orang untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya. Pada taraf ini, kerjasama tidak hanya didasarkan hubungan kekeluargaan, tetapi semakin kompleks. Dasar utama dalam kerja sama ini adalah keahlian, di mana masing-masing orang yang memiliki keahlian berbeda, bekerja bersama menjadi satu kelompok/tim dalam menyelesaikan sebuah pekerjaan. Kerjasama tersebut adakalanya harus dilakukan dengan orang yang sama sekali belum dikenal, dan begitu berjumpa langsung harus bekerja bersama dalam sebuah kolempok. Oleh karena itu, selain keahlian juga dibutuhkan kemampuan penyesuaian diri dalam setiap lingkungan atau bersama segala mitra yang dijumpai.
Dari sudut pandang sosiologis, pelaksanaan kerjasama antar kelompok masyarakat ada tiga bentuk, yaitu: (a) bargaining yaitu kerjasama antara orang per orang dan atau antar kelompok untuk mencapai tujuan tertentu dengan suatu perjanjian saling menukar barang, jasa, kekuasaan, atau jabatan tertentu, (b) cooptation yaitu kerjasama dengan cara rela menerima unsur-unsur baru dari pihak lain dalam organisasi sebagai salah satu cara untuk menghindari terjadinya keguncangan stabilitas organisasi, dan (c) coalition yaitu kerjasama antara dua organisasi atau lebih yang mempunyai tujuan yang sama. Di antara oganisasi yang
berkoalisi memiliki batas-batas tertentu dalam kerjasama sehingga jati diri dari masing-masing organisasi yang berkoalisi masih ada. Bentuk-bentuk kerjasama di atas biasanya terjadai dalam dunia politik (Soekanto, 1986).
Selain pandangan sosiologis, kerjasama dapat pula dilihat dari sudut manajemen yaitu dimaknai dengan istilah collaboration. Makna ini sering digunakan dalam terminologi manajemen pemberdayaan staf yaitu satu kerjasama antara manajer dengan staf dalam mengelola organisasi. Dalam manajemen pemberdayaan, staf bukan dianggap sebagai bawahan tetapi dianggap mitra kerja dalam usaha organisasi (Stewart, 1998). Kerjasama (collaboration) dalam pandangan Stewart merupakan bagian dari kecakapan ”manajemen baru” yang belum nampak pada manajemen tradisional. Dalam bersosialisasi dan berorganisasi, bekerjasama memiliki kedudukan yang sentral karena esensi dari kehidupan sosial dan berorganisasi adalah kesepakatan bekerjasama. Tidak ada organisasi tanpa kerjasama. Bahkan dalam pemberdayaan organisasi, kerjasama adalah tujuan akhir dari setiap program pemberdayaan. Manajer akan ditakar keberhasilannya dari seberapa mampu ia menciptakan kerjasama di dalam organisasi (intern), dan menjalin kerja sama dengan pihak-pihak diluar organisasi (ekstern).
B.       Hubungan Internasional
Hubungan internasional adalah interaksi yang berlangsung antara manusia yang satu dengan manusia yang lain yang berasal dari berbagai bangsa di penjuru dunia. Hubungan internasional sering didefinisikan juga hubungan antarbangsa. Hubungan internasional dapat terjadi dalam bentuk hubungan individual, hubungan antarkelompok, dan hubungan antarnegara. Hubungan internasional antarindividu dan antarlembaga sangat dipengaruhi oleh hubungan antarnegara. Ada tiga jenis pola umum hubungan internasional antarnegara/bangsa dalam dunia internasional, yaitu pola penjajahan (kolonial), ketergantungan, dan sama derajat.
  • Hubungan Internasional Penjajahan: Pola hubungan internasional jenis ini ditandai oleh adanya ketidaksetaraan hubungan antara negara/bangsa yang satu dengan negara/bagsa lainnya. Salah satu pihak berkedudukan sebagai penjajah, sedangkan pihak yang lain sebagai terjajah/tidak merdeka. Hubungan tersebut ditandai oleh penindasan oleh negara/bangsa penjajah terhadap negara/bangsa terjajah.
  • Hubungan Internasional Ketergantungan: Pola hubungan internasional ini ditandai oleh adanya ketidaksetaraan antara bangsa/negara yang satu dengan bangsa/negara yang lain. Hanya saja, para pihak dalam hubungan tersebut sama-sama merupakan negara/bangsa merdeka secara politik (memiliki pemerintahan sendiri). Meskipun demikian, salah satu pihak tergantung kepada pihak lainnya dalam berbagai bidang (ekonomi, politik, sosia budaya dan pertahanan).
  • Hubungan Internasional Sederajat: Pola hubungan internasional ini ditandai dengan adanya kesetaraan kedudukan antara bangsa/negara yang satu dengan bangsa/negara yang lain. Tidak ada pihak yang menindas/mengeksploitasi. Para pihak bekerjasama untuk mewujudkan kesejahteraan bersama. Pola hubungan internasional semacam ini merupakan pola hubungan yang ideal.
Hubungan internasional dianggap penting karena semua negara/bangsa di dunia membutuhkan dan melakukan hubungan internasional. Hal ini disebabkan karena adanya saling ketergantungan (interdependensi) dan saling membutuhkan antarnegara/bangsa. Kondisi interdependensi ini terjadi di berbagai bidang kehidupan baik dalam bidang ekonomi, politik, sosial budaya, maupun pertahanan.
C.      Asas-Asas Hubungan Internasional 
Pada pelaksanaannya, suatu hubungan internasional akan berjalan dengan baik jika negara-negara yang melakukan hubungan selalu berpedoman pada asas-asas yang dipatuhi bersama. Asas-asas tersebut antara lain:
  1. Asas Teritorial 
Artinya bahwa suatu negara akan mempunyai kekuasaan secara penuh untuk memberlakukan hukum atas semua orang dan barang yang berada di wilayahnya.
  1. Asas Kebangsaan 
Artinya bahwa dimanapun seseorang berada, selama seseorang masih menjadi warga negara suatu negara, maka orang tersebut masih tetap berada dibawah hukum negaranya tersebut.
  1. Asas Kepentingan Umum 
Artinya bahwa suatu negara dapat menyesuaikan diri terhadap semua keadaan untuk membela kepentingan umum. Jadi, hukum tidak terikat secara kaku pada batas-batas wilayah nasional suatu negara.
D.      Sarana-Sarana Hubungan Internasional 
Suatu hubungan internasional antar negara dapat berlangsung dengan baik jika melalui pedoman-pedoman dan tatacara tertentu yang disepakati bersama baik secara tertulis maupun tidak tertulis. 
  1. Diplomasi
    Diplomasi dapat diartikan sebagai proses komunukasi antarpelaku hubungan internasional untuk mencapai tujuan bersama atau kesepakatan tertentu. Diplomasi sendiri biasanya dilakukan oleh instrumen-instrumen hubungan internasional yaitu kementrian luar negeri dan perwakilan diplomatik.  Kementrian luar negeri mempunyai pusat kegiatan di ibukota negara pengirim, sedangkan perwakilan diplomatik mempunyai pusat kegiatan di ibukota negara penerima. Seorang wakil diplomatik (diplomat) yang dikirim ke luar negeri mempunyai tiga fungsi utama, yaitu sebagai lambang negara pengirim, sebagai wakil yuridis yang sah menurut hukum dan hubungan internasional, dan sebagai wakil diplomatik di negara penerima.
  2. Negosiasi
    Negosiasi disebut juga dengan perundingan. Negosiasi (perundingan) dalam hubungan internasional dapat diartikan sebagai proses interaksi antar pelaku hubungan internasional untuk untuk berusaha menyelesaikan tujuan masing-masing yang berbeda dan saling bertentangan.
  3. Lobby
    Lobby adalah kegiatan politik internasional yang dilakukan untuk mempengaruhi negara lain agar sesuai dengan kepentingan negara yang melakukan lobby.
E.       Lembaga Internasional dan PBB
Lembaga Internasional adalah wadah untuk mencapai tujuan bersama yang mengatur aktivitas berskala internasional, dalam hal ini tentunya negara adalah anggotanya. Bentuk lembaga ini bisa bermacam-macam; sosial, politik, ekonomi, budaya, keamanan, dsb. Meski demikian lembaga Internasional terkadang terbatas oleh ruang dan waktu, hal ini diakibatkan perbedaan struktur dan kultur negara itu sendiri. Otoritas negara terkadang menghambat kinerja dari lembaga internasional, belum lagi intervensi dari negara-negara yang memiliki "power" dan "veto."
Perserikatan Bangsa-Bangsa biasa disingkat PBB adalah sebuah organisasi internasional yang anggotanya hampir seluruh negara di dunia. Lembaga ini dibentuk untuk memfasilitasi dalam hukum internasional, pengamanan internasional, lembaga ekonomi, dan perlindungan sosial. Perserikatan Bangsa-bangsa atau PBB didirikan di San Francisco pada 24 Oktober 1945 setelah Konferensi Dumbarton Oaks di Washington, DC, namun Sidang Umum yang pertama - dihadiri wakil dari 51 negara - baru berlangsung pada 10 Januari 1946 (di Church House, London). Dari 1919 hingga 1946, terdapat sebuah organisasi yang mirip, bernama Liga Bangsa-Bangsa, yang bisa dianggap sebagai pendahulu PBB.
Sejak didirikan pada tahun 1945 hingga 2011, sudah ada 193 negara yang bergabung menjadi anggota PBB, termasuk semua negara yang menyatakan kemerdekaannya masing-masing dan diakui kedaulatannya secara internasional, kecuali Vatikan. Selain negara anggota, beberapa organisasi internasional dan organisasi antar-negara mendapat tempat sebagai pengamat permanen yang mempunyai kantor di Markas Besar PBB, dan ada juga yang hanya berstatus sebagai pengamat. Palestina danVatikan adalah negara bukan anggota (non-member states) dan termasuk pengamat permanen (Tahta Suci mempunyai wakil permanen di PBB, sedangkan Palestina mempunyai kantor permanen di PBB).
Organisasi ini memiliki enam organ utama: Majelis Umum (majelis musyawarah utama), Dewan Keamanan (untuk memutuskan resolusi tertentu untuk perdamaian dan keamanan), Dewan Ekonomi dan Sosial (untuk membantu dalam mempromosikan kerjasama ekonomi, sosial internasional dan pembangunan), Sekretariat (untuk menyediakan studi, informasi dan fasilitas yang diperlukan oleh PBB), Mahkamah Internasional (organ peradilan primer), Dewan Perwalian (yang saat ini tidak aktif). instansi Sistem PBB lainnya yang menonjol termasuk Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Program Pangan Dunia (WFP) dan Dana Anak-anak Perserikatan Bangsa-Bangsa(UNICEF). Organisasi ini didanai dari sumbangan yang ditaksir dan sukarela dari negara-negara anggotanya, dan memiliki enam bahasa resmi: Arab, Cina, Inggris, Perancis, Rusia, dan Spanyol.
1.      Fungsi dan Tujuan PBB adalah:
- Memelihara perdamaian dan keamanan internasional.
- Mengembangkan hubungan persaudaraan antarbangsa.
- Menciptakan kerjasama dalam memecahkan masalah- masalah internasional dalambidang ekonomi,sosial budaya dan hak asasi manusia.
- Menjadikan PBB sebagai pusat usaha dalam mewujudkan tujuan bersama cita-cita diatas.
Indonesia merupakan bagian dari masyarakat dunia. Oleh karena itu, Indonesia terlibat secara aktif dalam lembaga-lembaga internasional. Lembaga internasional atau organisasi internasional adalah organisasi tetap berdasarkan suatu persetujuan, kriteria, dan tujuan tertentu. Dalam lembaga-lembaga internasional, Indonesia menunjukkan peran aktifnya.
F.       Politik Luar Negeri Indonesia Bebas Aktif
1.      Pengertian Politik Luar Negri Indonesia Bebas dan Aktif
Pembukaan UUD1945 alinea ke-4 menegaskan bahwa salah satu tujuan nasional Indonesia (dari dalam) adalah melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kebebasan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Guna mewujudkan tujuan tersebut, dirumuskanlah kebijakan politik luar negri Indonesia yang disebut politik luar negri bebas dan aktif.
Berikut adalah beberapa pengertian tentang politik luar negri bebas dan aktif.

a. Menurut A.W. Wijaya
Bebas berarti tidak terikat oleh suatu ideologi atau suatu politik negara asing atau bagian-bagian  negara tertentu (ex. blok fasis dan sekutu) atau negara adikuasa (superpower). Aktif berarti tidak memberikan sumbangan atau bantuan realistis, namun giat mengembangkan kebebasan persahabatan dan kerja sama internasional dengan cara menghormati kedaulatan dan keutuhan negara lain.
b.        Undang-undang Nomor 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negri
Berdasarkan UU No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negri dikemukakan bahwa politik luar negri diartikan sebagai kebijakan, sikap, langkah pemerintah republik Indonesia yang diambil dalam melakukan hubungan dengan negara lain, organisasi internasional, dan subjek hukum internasional lainya dalam rangka menghadapi masalah internasional guna mencapai tujuan nasional.
c.         Pendapat Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja
Politik luar negri Indonesia bersifat bebas aktif, batasan bebas dan aktif adalah sebagai berikut.
  1. Bebas, dalam artian bahwa Indonesia tidak memihak pada kekuatan-kekuatan yang pada dasarnya tidak sesuai dengan kepribadian bangsa yang dicerminkan dalam falsafah Pancasila.
  2. Aktif, berarti bahwa dalam menjalankan kebijakan luar negrinya, Indonesia tidak bersikap pasif reaktif atas kejadian-kejadian internasional, melainkan bersikap aktif.
Di dalam garis-garis besar haluan tahun 1999, dinyatakan bahwa politik luar ngeri yang bebas dan proakti. Makna politik luar ngeri yang bebas dan proaktif memiliki makna yang sama dengan bebas aktif. Istilah politik luar negri bebas proaktif yang terdapat dalam GBHN 1999, merupakan bentuk pembaruan nama atau istilah. Adapun penjelasan mengenai pengertian politik luar negri bebas pro aktif adalah sebagai berikut. Bebas artinya sebagai berikut :
  • Bebas menentukan masa depan/nasib bangsanya sendiri tanpa campur tangan bangsa atau negara lain.
  • Bebas tidak mengikuti salah satu kewenangan/kekuatan di dunia ini baik Blok Barat maupun Blok Timur ataupun negara-negara maju (superpower).
  • Bebas menentukan sikap apapun yang dilandasi Pancasila dan UUD 1945 dalam menghadapi berbagai masalah internasional. 
Proaktif artinya sebagai berikut.
  • Tidak tinggal diam dalam menghadapi masalah internasional sesuai dengan komitmen, aktif menghapuskan penjajahan di dunia, menciptakan ketertiban dunia, dan menegakkan keadilan dalam dunia internasional.
  • Ikut Aktif dalam setiap kegiatan internasional asalkan berdasarkan asas kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.




 Plu  

1 komentar:

  1. LuckyClub Casino Site | Luckyclub Online Casino
    Luckyclub Casino is the best place to 카지노사이트luckclub enjoy gaming excitement with our amazing selection of slots, video poker, bingo and live dealer games. Join today.

    BalasHapus

KOMISIONER KPU KARO TERPILIH PERIODE 2018-2023

https://www.hetanews.com/article/141331/ini-nama-nama-komisioner-kpu-kabupaten-karo-terpilih-yang-diumumkan-kpu-ri-tertanggal-24-oktober-201...